5.3. Evokasi

1.3K 443 57
                                    

Berhari-hari selanjutnya, usai percakapan kami saat Awan menonton televisi di rumahku, aku kembali tak mengajak Awan bicara. Aku jadi lebih sering pulang sore karena menghabiskan waktu di studio Luna.

Awan juga makin aneh. Selain lebih banyak menghabiskan waktu di rumahku tanpa mengusikku sama sekali, aku menemukan ia lebih sering duduk di teras rumahnya saat malam. Bahkan ketika aku pulang lesㅡyang mana cukup larutㅡia masih duduk di teras sendirian.

Namun aku tidak ingin lagi peduli. Aku sudah pernah sekali memberinya nasihat. Jika dia tak mau mendengarkan, terserah.

Pengabaianku pada Awan terus berlangsung hingga hari penerimaan rapor sepekan kemudian. Aku harus berpuas diri dengan peringkat 16. Semester lalu aku bisa menyentuh posisi 13, tapi kini aku harus turun peringkat.

Tidak apa, aku tidak mesti kecewa dengan diri sendiri. Aku tahu aku sudah berusaha dan aku akan menghargai usahaku dengan tidak bersedih. Toh Mama dan Papa juga tidak pernah marah juga dengan peringkatku.

Selama kau tidak bermalas-malasan, Gelora, itu sudah cukup. Aku menyemangati diri sendiri. Selanjutnya, aku akan belajar lebih giat lagi.

Sesuai dugaan, di kelas kami yang menjadi peringkat satu adalah Professor Rafka. Adi meraih peringkat 6. Okan hanya sedikit di bawahku, ia peringkat 18. Luna peringkat 9 sementara Ivana peringkat 10.

Kami bersama-sama menuju rumah makan untuk merayakan hari ini. Tidak ada yang menyinggung terkait peringkat. Kami murni bersenang-senang untuk menyambut libur semester selama dua pekan.

Usai kami makan bersama dan menghabiskan waktu dengan mengobrol berbagai hal, kami memutuskan untuk pulang.

Aku membawa Imora dengan hati yang ringan. Libur semester membayang di depan mataku. Tiada yang lebih menyenangkan dari bersantai di rumah selama dua pekan, menonton film tanpa gangguan tugas, bangun siang, menganggu Nolan, sungguh menyenangkan.

Tiba di rumah, aku melangkah dengan riang menuju dapur. Mama pasti ada di rumah, ia tidak ke komunitas hari ini.

Saat aku melewati ruang tengah, aku melihat ada Awan dan Nolan tengah bermain PS. Mencoba tak peduli, aku berjalan terus ke arah dapur dan menyapa Mama yang sedang membuat jus.

"Gimana hasil rapornya?" tanya Mama.

"Peringkat 16, Ma." Aku tersenyum merasa tak enak hati.

Mama hanya mengangguk. "Nggak apa-apa. Sudah makan?"

Senyumku berubah riang. "Sudah."

"Pantesan lama pulang, si Awan tuh udah hampir sejam main PS, dia abis penerimaan rapor langsung pulang ke sini."

Aku tidak menyangsikan ucapan Mama karena Awan memang terlihat masih mengenakan celana pramuka walau berbaju kaos.

"Awan peringkat berapa, Ma?" tanyaku setelah jeda sejenak.

Mama mengernyitkan kening. "Kenapa nggak tanya aja sendiri? Kalian berantem, ya?"

"Nggak." Aku menggeleng.

Mama terkekeh. "Nggak usah bohong, Mama udah perhatiin interaksi kalian, hampir nggak pernah saling omong, cuma sapa-sapa kaku doang."

Kuhela napasku. "Emang nggak berantem, kok, Ma. Dia ke sini cuma mau main PS sama Nolan makanya kami nggak sering ngobrol."

Mata Mama menatapku curiga, tapi kemudian senyumnya terbit. "Iya deh, nggak berantem."

Mama menuang jus ke dalam gelas lalu beranjak meninggalkanku, menuju ruang tengah. Ia menyuguhkan jus itu kepada Nolan dan Awan.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang