Bagaimanakah suasana kelas 12 IPA D yang telah berakhir tetapi siswanya belum bisa pulang karena dicegah hujan? Rafka mampu mendeskripsikannya dalam satu kata: amburadul.
Perempuan-perempuan berteriak girang, tertawa, memekik dan berlarian entah karena apa. Para lelaki saling memaki karena bermain game online. Beberapa bersikap tenang di tempat karena menonton film bersama, tapi sesekali mereka menjerit heboh karena yang mereka saksikan adalah film horor.
Ada siswa yang bermain seluncuran di teras kelas karena lantainya licin terkena tempias hujan. Ada pula yang memilih terlelap di sudut belakang kelas.
Rafka sang ketua kelas menyaksikan kondisi kelasnya dan hanya bisa menggeleng. Bukan. Bukan karena ia merasa prihatin. Di kala ia menggeleng, ada senyum senang yang terbit. Ia bahagia dengan kondisi kelas yang amburadul. Inilah seni masa-masa SMA.
Tidak ingin tampak sebagai siswa sok cool yang penyendiri, Rafka bergabung dengan sekumpulan pria di teras kelas, bermain seluncuran bermodal air hujan.
Beberapa anak laki-laki dari kelas 12 IPA C bergabung. Mereka terbagi dua tim berdasarkan kelas dan bermain siapa yang mampu meluncur mulus dengan mata tertutup sampai garis finish, akan ditraktir gorengan oleh tim yang kalah.
Rafka sedang serius menyaksikan Okan mengambil ancang-ancang untuk meluncur indah dengan badan tengkurap saat bahunya ditepuk Awan.
"Gelora udah pulang?" tanya Awan tanpa basa-basi. Ditangannya ada jas hujan cokelat yang mencolok.
Rafka menoleh sekilas lalu kembali memperhatikan Okan yang sudah ditutup kain matanya.
"Belum pulang, cari aja di dalam kelas," jawab Rafka cepat lalu kembali menyoraki Okan. Mereka sekelas jadi mereka mesti saling mendukung.
Awan sendiri segera masuk ke kelas 12 IPA D. Mengabaikan ingar bingar dari anak-anak yang bersemangat melihat Okan meluncur.
Saat tubuh Okan berhenti tepat di garis finish, Rafka yang menyorak paling bahagia. Ia segera menghampiri Okan yang sudah membuka penutup matanya.
"Mantap bro!!!" Rafka merangkul Okan bangga.
Okan tertawa bahagia, gorengan gratis sudah membayang di depan matanya. "Aku kenapa ya terlalu hebat?" tanya Okan pongah yang langsung mendapat tinjuan di lengan oleh Rafka.
Belum sempat Rafka mencaci kawannya itu, Awan kembali muncul di depan mukanya.
"Raf, Lora nggak ada tuh di dalam," kata Awan.
"Masa sih? Tadi ada, deh, apa udah pulang ya?" gumam Rafka.
Okan mengernyit. "Kamu cari Lora, Wan? Tadi aku lihat dia tidur di pojok belakang kelas."
Awan tidak menyahut lagi, ia kembali masuk ke dalam kelas meninggalkan Rafka dan Okan. Lalu kedua pria yang cukup kepo itu melihat dari balik jendela Awan yang sudah menemukan Gelora tertidur dengan gaya aneh di lantai kelas.
Di sebelah kepala Gelora ada tas yang mereka yakini sebagai bantal, tapi kepala Gelora tampak tergeletak begitu saja di lantai. Ada jaket yang menutupi tubuh bagian atasnya. Mulutnya sedikit membuka dan kepalanya menghadap lurus ke langit-langit. Tidak ada keanggunan sama sekali.
"Anjir itu si Awan mo ngapain?" Okan berbisik ngeri saat melihat kepala Awan mendekat ke arah kepala Gelora. Ia menahan agar tidak berteriak karena di belakang mereka masih berlangsung pertindangan seluncur antar kelas, sekarang giliran 12 IPA C yang unjuk kebolehan.
"Woi gila, mereka mau mesum!" Okan tak mampu menahan diri. Beruntung suaranya teredam sorakan penonton pertandingan seluncur.
Rafka memukul belakang kepala Okan. "Bukan mesum, itu Awan mo mindahin kepala Lora ke atas tas."
"Buset, gayanya udah kayak pengantin baru," komentar Okan berlebihan.
Rafka berdecak, tidak mungkin seorang Awan berlaku mesum di sekolah, di sekitarnya ada banyak siswa pula.
"Mereka udah pacaran, ya setelah sekian lama sok sahabatan?" tanya Okan dengan pandangan yang tak lepas dari Awan memperbaiki posisi tidur Gelora. Ia heran mengapa Gelora tidak tampak terusik dengan perlakuan Awan. Apa Gelora sedang pingsan atau Awan yang sudah terlalu mahir melakukannya sehingga luwes sekaligus lembut?
"Kayaknya nggak, si Awan kan ada pacarnya," jawab Rafka.
Mereka berdua kini menjadi pria penggosip yang mengintip di balik jendela. Tampak seperti dua orang mesum sebenarnya. Tapi karena mereka melakukannya di tengah siswa lain yang asyik meluncur, jadi kesan mesum terbantahkan.
"Oh ya? Pacar Awan siapa?" tanya Okan terkejut, ia memang tidak terlalu mengikuti gosip terkini di sekolah.
"Adek kelas, anak olim tahun lalu, namanya Tania."
Okan membelalak. Ia kini sudah tidak melihat ke balik jendela, tetapi ke arah Rafka. "Tania yang cantik jelita nan anggun nan menawan kayak bidadari itu?"
Rafka mengangguk antusias.
"Wah parah sih si Awan, jahat banget nyakitin hati cewek," gumam Okan.
Rafka mengerutkan kening tak paham. "Nyakitin hati siapa?"
Belum sempat Okan menjawab, tampak Awan keluar kelas dan berjalan menghampiri mereka berdua, membuat Rafka dan Okan memilih untuk diam sejenak.
"Duluan ya, titip Gelora."
Masing-masing Rafka dan Okan membatin geli karena harus dititipkan perempuan cerewet semacam Gelora, bukannya Tania yang anggun nan jelita. Tapi mengingat harmonisnya pertemanan mereka dengan Gelora selama ini, mereka mengangguk-angguk saja.
Awan lalu menepuk bahu Rafka, mengangguk pada keduanya lalu berlalu.
"Kamu tadi tanya si Awan nyakitin siapa, kan, Raf?" tanya Okan.
"Iya," sahut Rafka.
"Tuh orangnya." Okan menunjuk dengan dagu seorang gadis yang berdiri dengan payung tertutup di dekat kelas 12 IPA A.
Butuh beberapa detik bagi Rafka untuk mengerti maksud Okan. Ia menatap Awan yang berjalan di tengah koridor menuju kelasnya, kemudian melirik Gelora yang tidur pulas di kelas, lalu kepada perempuan yang bahagia menyambut Awan datang padanya; Tania.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Fiksi Remaja[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...