Mama mengabarkan kehadiran Awan di depan gerbang rumah dengan motornya. Aku sudah tahu laki-laki itu akan menjemputku. Sejak kami bersekolah, hampir tak ada hari yang lalu tanpa berangkat bersama.
Saat di sekolah dasar, kendaraan Awan adalah sepeda cokelat yang ia minta pada Ayahnya agar punya jok belakang, katanya, jok khusus untukku. Sebab jok belakang telah dikatakan milikku, maka tanpa malu-malu kuminta kepada Ayah Awan agar jok tersebut diubah berwarna merah muda.
Awan tentu saja tak terima dan marah. Memalukan sekali sepeda seorang pejantan ada sentuhan merah mudanya. Tapi aku tak ingin mengalah, memangnya apa yang salah dengan merah muda. Aku menyukai warna tersebut sebanyak Awan menyukai cokelat.
Jika aku ingin seluruh barangku berwarna merah muda, dimana letak dosanya sehingga harus disambut murka Awan? Toh, Awan sendiri yang bilang jok itu khusus punyaku. Tapi argumen apapun yang kukatakan, ditolak keras oleh Awan yang sok jantan.
Pada akhirnya, di depan Awan aku merajuk dan menangis karena keinginanku tak dituruti, sementara Ayah Awan yang menyaksikan perdebatan kami kala itu hanya tertawa, semakin merisaukan hatiku.
Aku berteriak kesal pada Awan dan juga Ayahnya yang tak membelaku, Awan semakin berang dan Ayahnya semakin tertawa girang. Tak tahan lagi, aku berlari kembali ke rumahku untuk meminta kepada Papa sepeda merah mudaku sendiri.
Sepekan setelahnya, Awan datang ke rumah di sore hari sambil menuntun sepeda cokelatnya. Rupanya ia datang untuk meminta maaf, yang mengejutkan adalah permintaan maafnya didahului oleh tangis keras atas kesedihan karena telah sepekan kami bermusuhan, tepatnya aku yang menghindarinya.
Awan meminta maaf dan membujukku untuk kembali bermain dengannya. Ia tunjukkan pula padaku jok belakang sepedanya yang telah berwarna merah muda. Katanya, ia akan mengantarku ke sekolah dengan sepeda itu.
Senyumku merekah dan tanpa beban memberinya maaf. Sore yang berakhir damai itu kami habiskan dengan keliling komplek mengendarai sepeda cokelat-merah muda Awan.
Terkait sepeda merah muda yang kuminta kepada Papa, tentu tak diturutinya. Ia takkan membiarkan anak gadisnya berangkat ke sekolah sendirian dengan sepeda, jika tidak ditemani Awan, maka Papa yang akan memastikanku selamat hingga gerbang sekolah.
Walhasil, hingga sekolah menengah pertama, kami tetap berangkat bersama dengan sepeda yang sudah berganti ukuran menjadi lebih besar. Tentu saja, jok belakang tetap merah muda.
Saat sekolah menengah atas, kendaraan Awan berubah menjadi motor karena sekolah kami berdua cukup jauh untuk ditempuh dengan sepeda. Tapi apa pun kendaraannya, jok belakang Awan tetap milikku, hingga saat ini, saat Awan telah sedia di depan gerbang rumahku.
Aku mendekat dan dia menyerahkan helm merah muda yang selalu ada di motornya. Ini hari pertama misi detoksifikasi dopamin, tapi tak mungkin aku menolak Awan untuk ke sekolah bersama sekarang, aku akan mengatakan niatku nanti saja. Untuk saat ini, aku akan naik ke motornya tanpa banyak bicara.
"Kenapa diam aja? Sariawan?" Awan menolehkan sedikit sisi kiri wajahnya padaku. Kami sedang terhenti di lampu merah dan sepanjang perjalanan tadi aku memang diam.
"Aku nggak sariawan." Entah mengapa aku lebih ingin mengklarifikasi tuduhannya tentang sariawan daripada menjelaskan alasanku tak banyak bersuara. Sebab aku tak mungkin mengatakan aku diam karena sibuk mengontrol perasaan dan mencegah tubuhku memproduksi banyak dopamin dengan cara menghapal tabel perkalian.
"Iya sih, kamu kalau sariawan pun tetap cerewet," gumam Awan yang sampai ke telingaku. "Tapi seminggu ini juga kamu kayaknya nggak banyak omong, lagi ada masalah ya?"
Lampu lalu lintas telah berubah hijau dan motor Awan kembali melaju. Sisi kiri wajahnya tak lagi condong ke arahku, tapi tatapan Awan menghujamku melalui kaca spion, membuat aktif hormon adrenalinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...