6.2. Yang Tidak Tania Katakan

1.3K 381 20
                                    

"Pulang sekolah nanti kamu ke rumah mamamu ya, Tan, kemarin dia minta kamu main ke sana, ada oleh-oleh dari Korea katanya."

Tania mengangguk patuh atas perintah papanya yang masuk ke kamar Tania saat ia tengah bersiap ke sekolah. Sebenarnya ia tidak begitu senang ke rumah mamanya sebab ia benci melihat interaksi keluarga bahagia antara mama, suaminya, dan anak mereka yang berusia tujuh tahun. Tapi ia tahu, jika ia menolak, mamanya akan berdrama seolah-olah papanya yang melarangnya, dan Tania lebih benci itu.

"Ya udah kamu buruan siap-siap, hari ini papa antar kamu ke sekolah."

Tania mengangguk lagi. Ia begitu sayang pada papanya dan akan selalu menuruti sang papa. Ia tidak ingin membuat papanya kecewa. Bagaimanapun, papanya-lah yang membesarkannya seorang diri sejak ia berusia enam tahun, karena mamanya lebih memilih pergi dengan selingkuhannya. Saat itu Tania tak mengerti apa-apa, tapi sekarang ia tahu segalanya meski orang tuanya selalu berpura-pura bersikap baik-baik saja di depannya.

Usai Tania bersiap, ia bergegas menyusul papanya yang sejak tadi sudah menunggu di dalam mobil. Papanya memang selalu berangkat pagi ke kantor demi menghindari macet karena jarak yang memang jauh. Tidak jarang papanya berangkat lebih pagi dari Tania.

"Pulangnya bareng pacarmu itu lagi?" Papa Tania bertanya saat melihat Tania membawa helm ke dalam mobil.

"Iya, Pa."

"Papa tuh heran dia kok rajin banget nganter kamu pulang tapi nggak pernah jemput," ujar Papa Tania. "Dia takut ketemu Papa?"

Tania terkekeh. "Dia susah bangun pagi, Pa."

"Dasar anak zaman sekarang." Papa Tania menggeleng tak habis pikir.

Sepanjang perjalanan akhirnya mereka hanya membahas perihal Awan. Papa Tania senang anaknya tampak bahagia bercerita tentang bagaimana Awan yang sabar menemaninya belajar, selalu membantunya dan mendengarkan cerita-cerita Tania dengan baik.

Selama ini Tania memang selalu terbuka papanya. Ia anak penurut dan sangat polos. Awalnya, papa Tania begitu takut Tania akan tersakiti jika berpacaran terlalu dini, tapi melihat binar di mata anaknya saat ini, papa Tania merasa lega, ia merasa bahagia

Begitu tiba di sekolah, papa Tania mengecup kening anaknya. "Belajar yang rajin."

Tania tersenyum senang. "Papa juga selamat kerja."

Tania lalu membuka pintu dan berlari kecil ke sekolahnya. Setelah menyimpan helm di pos satpam, Tania melangkah ringan menuju kelasnya. Di tengah jalan, ia melihat Awan tengah berjalan beriringan dengan Gelora.

Tanpa berpikir panjang, dengan semringah Tania memanggil mereka.

"Kak Awan, Kak Gelora!"

Gelora dan Awan berbalik bersamaan. Tania bisa melihat senyum di bibir kedua orang tersebut dan menunggunya tiba di tengah-tengah mereka.

"Tumben Kak Awan datang pagi," ucap Tania pada Awan.

"Gelora mesti diawasi biar nggak ugal-ugalan," sahut Awan.

Tania mengangguk paham karena ia beberapa kali mendengar Awan bercerita tentang kemampuan bermotor Gelora. Ketika ia menoleh pada Gelora, wajah perempuan itu tampak merengut lucu, sehingga Tania tertawa. Ia selalu kagum dengan persahabatan kedua orang di sebelahnya, sekaligus iri.

Terkadang Tania ingin menjadi seperti Gelora yang memiliki sahabat setia seperti Awan di sisinya. Tetapi ia selalu menepis pemikiran itu sebab toh ia memiliki Awan sebagai kekasihnya.

Perjalanan mereka bertiga menuju kelas dipenuhi dengan debat antara Gelora dan Awan, sementara Tania menikmati debat itu dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya.

Kedua orang di sisi Tania masih terus bertengkar hingga Tania melihat Awan menarik rambut Gelora, lalu menggamit tangannya.

"Ayo, Tan, aku temani kamu sarapan!" seru Awan.

Kedua mata Tania membelalak kaget saat kakinya tiba-tiba harus berlari mengikuti langkah lari Awan di sebelahnya. Ia melihat wajah Awan yang penuh seringai jahil dan bahagia.

"Awan!!!"

Suara Gelora menggelegar di belakang mereka. Membuat Tania dan Awan sontak berbalik. Tania terkekeh geli melihat Gelora yang mengejar mereka dan tampak berantakan.

Lalu ia dan Awan terus berlari.

Terus berlari.

Hingga Awan berhenti tiba-tiba dan menoleh ke belakang dengan bingung, seperti mencari seseorang. Gelora-kah?

"Kenapa, Kak?" tanya Tania.

Tania bisa melihat Awan tampak tersentak mendengar suaranya. Kemudian lelaki itu menatapnya dengan senyum yang tak selebar sebelumnya dan melepas genggaman tangannya.

"Nggak apa-apa. Ayo kutemani sarapan, kamu belum sarapan kan dari rumah?" Awan bertanya tapi tidak tampak seperti ingin jawaban karena ia langsung melangkah ke kantin, membuat Tania segera menyamakan langkah.

Mereka kemudian duduk berhadapan di kantin. Tania menikmati nasi goreng dalam diam karena Awan tiba-tiba terlihat tidak sedang dalam suasana hati yang baik. Tania berusaha memahami apa yang terjadi. Apakah Awan memiliki mood swing? Sebab beberapa menit lalu, ia tampak begitu bahagia berdebat dengan sahabatnya, dan sekarang ia hanya diam menatap ponselnya.

Apa ini ada hubungannya dengan Gelora?

Tania menggeleng. Tidak mungkin.

Namun, meski Tania merasa tidak masuk akal semua ini berhubungan dengan Gelora, hatinya terasa was-was.

"Kak Awan?" Tania memutuskan bertanya setelah menimbang lama.

"Ya?"

"Apa mulai sekarang Kak Awan bakal selalu sepagi ini ke sekolah?"

Awan tampak berpikir sejenak. "Ya kalau Gelora selalu sepagi ini ke sekolah, berarti aku juga."

Tania menelah ludahnya susah payah. Mengabaikan rasa tak nyaman di benaknya, ia menatap dalam mata Awan. "Aku selalu ke sekolah sepagi ini, apa Kak Awan bisa jemput?"

Mata Tania menangkap kernyitan di kening Awan, dan lelaki itu terdiam lama.

Lalu Tania merasa suasana mereka sangat canggung saat ini. Meski ia sekarang mulai merasa sedikit sakit hati melihat respon Awan, ia memaksakan untuk tertawa kecil.

"Aku cuma berpikir kalau Kak Awan bisa bangun pagi untuk bareng Kak Lora ke sekolah, kenapa untuk aku nggak? Tapi Kak Awan nggak usah terlalu mikirin, aku paham kok, Kak. Rumah kita beda arah, Kak Awan pastiㅡ"

"Sorryㅡ" Awan memotong ucapan Tania, membuat Tania terkesiap. "Aku jemput kamu besok."

"Cuma besok?" tanya Tania ragu-ragu.

"Besok dan seterusnya," jawab Awan mantap.

Tania tak kuasa menahan senyumnya. Seluruh kekhawatiran tak masuk akal yang ia rasakan sebelumnya lenyap. Bibirnya spontan melengkung indah dan matanya kembali berbinar menatap Awan.

"Makasih, Kak," seru Tania senang yang dibalas Awan dengan senyuman teduhnya.

Benar, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, batin Tania semringah.





•••





Ugh, aku nggak suka Awan.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang