Sudah dua hari ini aku pulang cepat ke rumah karena UTS. Walhasil, aku jadi lebih punya banyak waktu dengan Nolan, bocah SD yang menyebalkan. Tetapi aku tidak bisa membencinya karena dia adikku.
Meskipun kini dia masuk tanpa permisi ke kamarku dan langsung menyambar gitar kesayanganku, aku tidak bisa membenci, tapi aku bisa marah.
"Nolan jangan ganggu!" hardikku. Aku yang tadi masih berbaring santai membaca buku PKN kini bangkit dan duduk memelototi Nolan.
Kombinasi Nolan dan gitar sudah tentu akan mengangguku. Ia lumayan bisa bermain gitar karena aku dan Awan kadang mengajarinya, lebih sering Awan sih yang mengajarnya. Tetapi suara Nolan tidak lebih baik dari kaset rusak. Menyebalkannya adalah ia selalu tak malu bernyanyi.
"Yesterday, all my trouble seemed so far away!" Nolan mengalungi gitarku dan menyanyikan lagu pertama yang aku ajarkan padanya sambil berdiri. Ah, tidak bernyanyi, ia berteriak.
"Nolan, aku mau belajar! Keluar!"
Nolan tidak mendengar. Ia adalah adik laki-laki yang tidak menggemaskan dan selalu bertingkah liar. Kadang ia bisa baik, tapi lebih sering menyebalkan.
"Keluar main sama temanmu, jangan ganggu!"
"Why she had to go, i don't know, she wouldn't say!" Nolan tetap bernyanyi.
Aku bangkit dari kasur dan mencoba merebut gitarku, tetapi ia berkelit dengan mudah. Aku tidak heran bocah kelas lima sekolah dasar bisa begitu gesit, apalagi Nolan yang memang tidak bisa diam.
"Berhenti nggak? Aku lapor Papa kamu," ancamku.
"Oh yesterday love was such an easy game to play!" Nolan tidak peduli, ia kini membawa gitarku keluar kamar masih sambil bernyanyi. Aku mengejarnya.
Tadinya ingin kubiarkan saja dia pergi, tetapi sekarang aku sudah dendam. Aku tidak akan meminjamkan gitar padanya selama dua minggu. Lihat saja.
"Nolan!"
Aku tahu Nolan pasti merasa bebas karena Papa sedang di kantor dan Mama ada urusan di Komunitas. Di rumah, hanya ada aku, Nolan, dan satu asisten rumah tangga kami.
"Siniin gitarku!" Nolan sedang duduk bersantai di sofa ruang tengah sambil bernyanyi.
Aku segera lompat duduk di sampingnya dan memiting lehernya. Nolan tidak marah, ia tertawa.
"Ampun, Kak," mohonnya sambil tertawa.
Aku menyentil dahinya lalu merebut gitarku. "Nggak ada gitar sampai dua minggu."
"Temenin main dong, Kak," pinta Nolan saat aku sudah akan kembali ke kamar. "Main PS, yok."
Aku terdiam, memicing menatap mata Nolan. Aku heran mengapa ia tiba-tiba mengajakku bermain. Permintaannya membuatku kembali duduk di sofa meski aku masih enggan sebenarnya bermain PS dengannya. Tetapi mau bagaimana lagi, aku kasihan dengan wajah memelasnya.
Gitar kutaruh di sofa sebelahku, menjaganya dari jangkauan Nolan. Tetapi sepertinya Nolan tidak tertarik dengan gitar lagi, ia sudah mengutak-atik PS dan meraih stiknya, kemudian menyerahkan satu padaku.
"Ada apa nih tiba-tiba ajak main?" tanyaku curiga.
"Aku dari kemarin-kemarin udah pengen banget main tau, Kak, tapi nggak ada lawan," curhat Nolan, "Kak Awan udah sebulan nggak main ke rumah, terakhir main ke rumah malah buat ngajak Kak Lora ke konser, bukan buat main PS."
Ucapan Nolan membuatku sadar bahwa Awan ternyata memang tidak berkunjung lagi ke rumahku satu bulan belakangan ini. Padahal biasanya ia ke rumahku tanpa kuminta, sekadar bermain bersama Nolan atau hanya untuk menghabiskan waktu dengan bermain gitar dan bernyanyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...