"Belakangan ini kamu sering ambil keputusan yang kayak bukan kamu," adalah ucapan pertama Awan begitu aku berbaring di karpet cokelat berbulu yang tergelar di lantai kamarnya.
Setelah menyelesaikan cucian piring, aku menyusul Awan yang mengatakan akan ke kamar dan menungguku untuk menjelaskan.
Aku memang tidak pernah masuk begitu saja ke kamar seseorang, tetapi kamar Awan adalah kamar yang terlampau sering kutandangi sehingga aku bisa berbaring tanpa malu-malu lagi di karpetnya.
"Emang keputusan yang kayak aku itu bagaimana?" tanyaku heran.
Awan tadinya tengah bebaring di kasurnya sendiri, tapi tiba-tiba kepalanya muncul dan menghalangi tatapanku yang sebelumnya menerawang langit-langit kamarnya.
"Keputusan yang kayak kamu itu adalah keputusan yang pasti melibatkan aku," jawab Awan.
Aku mau tak mau memandang Awan yang kepalanya sejajar denganku. Jika aku menatap lurus ke arah atas, maka akan kudapati bibir Awan yang hanya dipisah udara dengan mataku. Begitu pun Awan, matanya yang menatap ke bawah—arahku—pasti menemukan pemandangan daguku.
Setengah salah tingkah karena sejenak telah terpaku, aku mengerjapkan mata untuk meraih kembali kesadaran. Aku lalu mendorong wajah Awan ke atas dengan tangan, menjauhi wajahku. Dengan kesal tapi malu, aku mengelak. "Kapan aku begitu?"
Awan menelentangkan diri di karpet berbulu kemudian, menjadikan sepasang mata kami sejajar tapi masing-masing badan memanjang ke arah jarum jam berbeda, aku enam, Awan dua belas.
Awan turut menatap langit-langit dan bersedekap sepertiku, menjawab, "Belajar naik sepeda dan motor, pilih sekolah, masuk jurusan IPA, bahkan sampai keputusan untuk pilih pakaian pun pasti kamu melibatkan aku. Dua minggu lalu waktu ke konser Padi kamu juga tanya ke aku bagusnya pakai baju apa."
Aku tak berkutik. Ucapannya membuatku sadar bahwa aku memang sering bergantung padanya. "Itu dulu, sekarang aku kan mau belajar mandiri," kilahku.
"Belajar mandirimu aneh," balas Awan. "Sekilas aku ngerasa kamu ngejauhin aku. Empat hari ini, kamu bahkan selalu ke sekolah lebih cepat, seperti menghindar."
Kosa kata seperti menghilang dari kepalaku ketika mendengar ucapan Awan. Dan saat ini aku kelimpungan mencarinya untuk membela diri. Hendak kujawab apa Awan?
Akhirnya, keheningan mengambil alih percakapan ini, disebabkan aku yang tak cukup pandai mencari alasan.
"Aku nggak menghindar." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Lalu kami berdua kembali menenggelamkan diri dalam pikiran masing-masing. Aku tak tahu apa yang ada di kepala Awan hingga ia akhirnya kembali bersuara.
"Jadi kita nggak akan belajar bareng lagi?" tanya Awan, sedikit terdengar ragu.
Aku berdeham mengiyakan. "Soalnya kalau aku les dua kali seminggu, belajar enam hari seminggu, ditambah belajar bareng kamu sekali seminggu, bisa gila aku."
"Padahal kamu bisa lebih santai kalau nggak les dan belajar sekali seminggu sama aku. Kamu beneran menghindar, kan? Kenapa? Aku ada salah?" Intonasi suara Awan tetap tenang dan terkendali meski pertanyaannya terkesan menuntut.
Ini adalah percakapan yang sangat emosional bagiku. Kami bahkan tak saling menatap, tapi langit-langit seperti membentuk wajah Awan dan membuatku gelisah karena membayangkan ditatap Awan sedemikian rupa dari atas sana.
Sesungguhnya aku membenci situasi ini. Misiku telah berjalan satu minggu dan aku masih kesulitan membiasakan diri. Keputusan-keputusan ini, jarak dengan Awan yang kucipta, membuatku gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detoksifikasi Dopamin dalam Lima Babak
Teen Fiction[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingin selalu bersama Awan-pria yang ia jatuh cinta padanya. Namun, jatuh cinta pada Awan adalah bencana...