2.6. Konversasi

1.5K 519 33
                                    

Malam ini, aku menekuri tulisanku terkait misi detoksifikasi dopamin ini.

Hal-hal yang aku mesti berhenti darinya:

1. Berangkat sekolah bersama Awan 

Senyumku pahit ketika memberi centang di poin nomor satu tersebut. Hingga hari sabtu ini, Awan dan Tania berangkat sekolah bersama. Di hari rabu dan kamis kemarin, aku masih berangkat bersama Awan hingga berpisah di persimpangan jalan menuju rumah Tania. Tapi hari jumat, aku memutuskan untuk agak telat berangkat ke sekolah. Ada secuil harapan agar Awan menungguku di depan gerbang, tapi tidak ada. Ia tetap berangkat pagi menjemput Tania.

Misi berhenti berangkat ke sekolah dengan Awan berhasil, tapi aku justru terombang-ambing selaksa emosi. Kelegaan adalah yang dominan kurasa sesungguhnya, tapi sisanya rumit sekali; ada sedih, rindu, hampa, kecewa, dan berbagai rasa lainnya.

Kami bukan tipe kawan yang senantiasa bersama ke mana-mana, durasi kebersamaan kami yang paling lama dan rutin hanya saat berangkat sekolah dan belajar bersama di hari minggu. Tapi dua situasi itu hendak kunihilkan saat ini, jadi aku dan Awan hampir tak pernah berbincang lagi sekarang.

Kesibukan menjadi mentor olimpiade turut menyita waktu Awan dan kesibukan mendetoksifikasi dopamin membuatku sedikit demi sedikit menarik diri darinya. Walhasil, sekadar jalan tak tentu arah saat butuh hiburan pun tak kami lakoni lagi seperti saat dulu.

"Oke, pertemuan kita sampai di sini hari ini." Suara lantang Kak Olla menyentakku dari lamunan dan buru-buru menutup buku catatanku.

Aku merutuki diri sendiri yang tak fokus di tengah les yang sekarang sudah berakhir. Papa sudah membayar mahal dan aku justru membuang waktu dengan menekuri buku catatan misi sambil melamunkan Awan. Terkutuklah aku.

Seluruh peserta les yang hanya berjumlah 12 orang satu demi satu keluar dari kelas. Aku melihat jam dan sudah pukul sepuluh malam, jadwal les di tempat ini benar-benar tepat waktu. Aku terpukau mengingat kemarin dan hari ini, semua mentor masuk tepat jam delapan dan selesai tepat jam sepuluh, tak kurang dan tak lebih. Aku kira kemarin hanya kebetulan, tapi melihat hari ini pun sama, aku jadi memuji dalam hati.

Lekas kubereskan barang-barangku dan keluar dari kelas. Saat keluar kelas, barulah aku menyadari ternyata sedang turun hujan di luar gedung, beruntung aku membawa jas hujan.

Bersama dengan beberapa teman baru di tempat les ini, aku berjalan keluar gedung dan menemukan seorang perempuan duduk di kursi tunggu teras tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengenalinya meski ia menunduk memainkan ponsel, membuat wajahnya terhalau rambut panjang.

"Tania?" panggilku, berusaha menyaingi derasnya hujan, tapi Tania tak menoleh, barangkali tak mendengarnya.

"Kamu kenal?" tanya Greya, teman baruku di tempat les ini, anak SMA sebelah. SMA kami selalu bersaing dalam hal prestasi, tapi Greya perempuan yang baik dan tidak tampak senang bersaing, jadi aku mendekatinya.

Aku mengangguk. "Iya, temanku. Kamu duluan aja, Grey, aku mau sapa dia dulu."

Greya mengangguk dan tanpa basa-basi lagi segera pamit lalu berlari menuju parkiran mobil, dia memang membawa mobil sendiri.

Sementara aku berjalan menuju Tania dan duduk di sebelahnya. Tania menoleh dan tampak kaget menemukanku. Ekspresinya lucu. Entah kenapa, aku tidak bisa tidak menyukai Tania. Sejak kami sempat beberapa kali berbincang soal film setiap pagi di sekolah, aku sudah kadung menyukai sikapnya. Walau akhirnya kami tak lagi berbincang karena aku kembali datang di waktu-waktu krisis sebelum bel, jadi kami tak sempat berpapasan.

"Kok Kak Gelora di sini?"

Aku mengerutkan kening, tersenyum jenaka untuk menyiratkan bahwa pertanyaannya lucu. "Memangnya nggak boleh? Aku les di sini, ambil kelas persiapan UN dan SBMPTN. Kamu tuh yang aneh, kok di sini?"

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang