5.4. Koherensi

1.3K 469 79
                                    

ini 2200 words.
kalian santai aja
bacanya. karena
banyak info penting.

•••

Pelan-pelan aku menghampiri Awan yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Ia sudah dipindahkan ke dalam kamar inap. Kaki kirinya diperban, kata Papa kakinya patah. Sesak memenuhi dadaku mendengar hal itu, membuat air mata mendesak keluar dari pelupuk.

Aku yang hanya luka di lutut waktu lalu, tak kuasa menahan perih, bagaimana dengan patah kaki? Meski Papa mengatakan kaki Awan akan segera sembuh, tapi tetap saja, kaki yang patah bukan hal sederhana.

Belum lagi luka di dahi serta lengan Awan yang cukup parah, aku bergidik tak tega membayangkan barangkali ada luka lain di bagian tubuhnya yang tertutup kain. Air mataku sudah mengalir selama pikiranku mengembara menerka kesakitan Awan saat sadar nanti.

Di ruang inap Awan ini, keluarga lengkapnya berkumpul, ditambah aku dan Papa. Mama dan Nolan tidak ikut karena Nolan sudah tidur dan Mama menjaganya.

Tampak bunda Awan sangat terpukul, sejak aku datang hingga setengah jam berlalu, ia terus menunduk dan menangis di sofa.

"Ini semua salahku," kata bunda Awan tiba-tiba di tengah suasana hening. "Kalau saja tadi aku nggak berantem sama ayah Kai, mungkin Awan nggak akan keluar rumah dan akhirnya kecelakaan."

Tunggu sebentar. Ayah-bunda Awan bertengkar? Bukankah mereka pasangan paling harmonis di muka bumi? Mama sama Papa saja kalah menurutku.

Aku melirik ayah Awan yang hanya menunduk, tak menghibur bunda Awan sama sekali, tapi beliau tampak sama terpukulnya. Kemudian kulihat Kak Kai yang rautnya berubah keras saat bundanya berbicara, sesaat sebelum ia melengos keluar dari ruang inap ini.

Sepertinya aku melewatkan sesuatu. Kesedihan yang tadi meliputi hatiku berganti dengan rasa penasaran dan kebingungan. Saat aku menoleh ke arah Papa, beliau mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Dengan berat hati aku meninggalkan sisi Awan dan duduk di samping Papa.

"Nggak usah menyalahkan diri sendiri, Mbak," kata Papa pada bunda Awan. "Yang penting kita fokus ke kesembuhan Awan saja saat ini."

Bunda Awan makin menangis dan menggeleng. "Ini memang salahku. Aku terlalu egois belakangan ini, bertengkar dan meratapi perasaan sendiri sampai nggak memperhatikan anak-anakku."

Hatiku terasa tercabik-cabik mendengarnya. Pelan-pelan otakku merangkai apa yang terjadi belakangan ini dengan mengingat kembali tingkah Awan. Inikah alasan Awan lebih sering menghabiskan waktu di rumahku? Karena tidak diperhatikan bundanya?

Aku tidak mampu menelaah apa yang terjadi lagi. Air mataku yang tadi berhenti mengalir kembali menggenang. Kutatap Awan yang sedang berbaring. Bibirnya yang sering mengejek sekaligus menghiburku itu pucat. Tangannya yang kerap membantuku, menenangkanku, tergolek di sisi ranjang tak berdaya. Matanya yang kadang hangat, yang sering jenaka, yang tak jarang sinis, bersembunyi di balik kelopak.

Awan adalah laki-laki yang aku sayangi, sejak dahulu hingga kini, tapi aku sendiri pun tidak menyadari keadaannya hingga sampai seperti ini.

Papa yang menyadari aku kembali menangis, merangkulku. "Mungkin sebaiknya kami pamit, Lora butuh istirahat."

Papa membawaku berdiri sama sepertinya. Ayah Awan mengantar kami keluar ruangan. Sebelum benar-benar beranjak, aku kembali menatap Awan dari balik kaca pintu, mendoakan ia cepat sembuh.

Imora sengaja ditinggalkan di rumah sakit dan aku pulang dengan mobil Papa. Di dalam mobil, aku kembali menangisi Awan. Papa tidak bertanya apa-apa atau pun bersuara, menyalakan radio pun tidak. Ia membiarkanku mengeluarkan air mata sepuasnya.

Detoksifikasi Dopamin dalam Lima BabakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang