Sembilan Belas

127 31 6
                                    

Hawai’s pov
-Honolulu International Airport, Honolulu, Hawai, USA-

“Perhatian untuk seluruh penumpang Alfarizi Private Jet, kami akan mendarat di Bandar Udara Internasional Honolulu.” Suara Pilot yang terdengar melalui speaker membuatku membuka mata dan melongok ke jendela yang berada di sebelahku.

Pesawat jet yang kami tumpangi sudah menukik turun yang artinya sebentar lagi penerbangan panjang berakhir.

“Finally! Mommy sangat merindukan tempat ini. Ah, memori 17 tahun lalu akan kembali teringat ya Dad?” Aku melirik Mommy yang merangkul tangan kiri Daddy.

Huft!

Seharusnya aku tidak pernah tahu sebabnya, dengan begitu aku tidak perlu berpikiran macam-macam seperti ini.

“Setelah sampai mansion aku harus tidur nyenyak.” Aku menatap malas Bira yang mengucek matanya, asal kalian tahu ia baru bangun.

“Kau baru bangun.”

“Ah iya memang. Tapi tidurku di pesawat tidak nyenyak. Karena suara bising mesin, belum lagi suara bayi-bayi Aunty Canny yang mengganggu tidurku.” Ia menatap cermin di tangannya dan mengoleskan lip balm.

“Kau mau?” Bira menyodorkan lip balm ke arahku.

“No, thanks.”

Bira menatap ke arah bibirku, “Tidak, kau harus memakainya. Lihatlah bibirmu sangat kering. Apa kau tidak menjaga kesehatan bibirmu? Kau tahu, bibir yang menawan itu harus lembab.” Aku pasrah saja saat perempuan yang berusia 2 tahun lebih tua dariku ini mengoleskan lip balm.

“Sempurna! Kau benar-benar tampan, sayang. Mari kita selfie dulu sebelum turun.” Bira merangkulku, ia tersenyum ke arah kamera dan begitu juga denganku.

“Hai! Berani sekali kalian berfoto tanpaku!” Tiba-tiba Bia datang, ia langsung merangkul tangan kananku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Bira memencet tombol beberapa kali, kemungkinan hingga 10 foto.

Memiliki banyak saudara perempuan memang merepotkan. Tapi tidak masalah, aku sanggup melindungi mereka semuanya walau hanya Marble yang membantuku.

“Aku akan mengunggah ini ke Instagram!”

“Jangan lupa tag aku. Oh ya, pilihkan yang terbaik. Aku mau semua orang melihat kecantikan paripurnaku.” Aku hanya menatap malas Bia yang menggerakkan tangannya menuruni pipi. Ia pasti mengikuti bintang iklan yang memamerkan produk kecantikan lagi. Entah siapa yang ia ikuti sekarang.

Bia memang terobsesi menjadi bintang iklan skincare dan make up.

“Ayo siap-siap, sebentar lagi kita turun.” Aku berdiri dan memakai backpackerku setelah mendengar aba-aba dari Mama.

“Bagaimana kau bisa hanya membawa satu tas saja?” si kembar memandangku takjub.

“Aku tidak membutuhkan banyak barang seperti kalian berdua.” aku melangkah menuju pintu keluar, meninggalkan mereka yang masih terheran-heran.

Langkahku terhenti saat melihat dua bocah yang menangis keras. “Apa yang terjadi?”

“Seperti biasa, mereka berebut minta ku gendong.” Aku tersenyum ke arah Marble yang tidak mau lepas dari pelukan ibunya. Hal yang sama juga dilakukan Cherry.

“Uncle tidak disini?”

“Tidak, ia sedang menyiapkan koper-koper yang akan dibawa nanti.”

“Cherry ikut Wai yuk. Wai gendong di depan.” Cherry mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia menghapus air matanya dengan tangan gembulnya lalu merusut dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku.

DispenserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang