Dua Puluh Tujuh

137 31 18
                                    

Author’s pov

Camilla menghentikan motornya tepat di tengah perkebunan kopi yang terletak di kawasan Gunung Kelud. Ia tak tahu harus lari kemana, akhirnya ia memutuskan berhenti disini dengan harapan Hawai tidak menemukannya.

Napasnya tersengal-sengal dan tangannya bergetar hebat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, terlihat jelas dari wajahnya ia sangat ketakutan. “Hawai tidak akan menemukanku disini, kan?” monolognya sembari menatap sekelilingnya, tak ada siapapun selain dia disini sekarang.

Camilla memejamkan matanya dan menghela napas panjang berulang kali untuk menenangkan dirinya. Ia menanamkan dalam pikirannya jika semua akan baik-baik saja setelah ini. Ia sudah kabur dari rumah dan itu artinya Hawai tidak akan menemukannya karena tidak seorang pun tahu keberadaannya.

“Mustahil dia tahu keberadaanku sekarang, aku sudah mematikan ponselku dan aku tidak menghubungi siapapun.” Camilla menatap pantulan dirinya di spion, ia tersenyum.

Ya, Camilla tersenyum.

“Bagaimana jika aku pindah ke Blitar atau Surabaya sekalian untuk beberapa hari? Uang di kartu ATMku cukup untuk menyewa hotel dan makan. Tenang Camilla semuanya akan baik-baik saja.” Ia mengangguk untuk menghibur dirinya.

Sejujurnya Camilla terkejut melihat perubahan wajah Hawai tadi. Ia sangat ketakutan hingga tak bisa menarik napas dengan benar. Seumur-umur baru kali ini ia melihat wajah Hawai yang menyeramkan seperti itu.

Apalagi saat Hawai tanpa ragu mencekiknya, sungguh Hawai tidak mengurangi kekuatan laki-lakinya saat mencekik Camilla. Mengingat itu, Camilla memegang lehernya. Cengkraman kuat hingga membuatnya kesakitan dan susah bernapas masih terasa.

“Ah, kenapa aku masih disini? Harusnya aku mulai perjalanan panjang.” Camilla kembali mengenakan helmnya dan menyalakan mesin motornya.

Tak membutuhkan waktu lama ia mengendarai motornya meninggalkan kebun kopi. Camilla menghela napas panjang beberapa kali menikmati sejuknya udara di kaki gunung Kelud. Ia tak punya rencana jangka panjang, ia hanya memikirkan akan menghilang semetara waktu sampai suasana kembali aman untuknya kembali ke Kediri.

Camilla masih menikmati indahnya kebun kopi yang sepi dan terasa nyaman untuknya. Tiba-tiba dari arah berlawanan ada motor yang mengarah padanya dengan kecepatan tinggi. Camilla bingung mau mengarahkan motornya kemana karena jalan yang dilaluinya adalah jalan setapak yang artinya hanya bisa dilalui satu motor saja. Menyadari motor itu tidak mau mengalah, ia meminggirkan motornya diantara pohon kopi.

Baru saja ia lega karena berhasil menghindari motor dengan kecepatan tinggi itu, ternyata motor itu berbelok dan kembali melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Brak

Camilla jatuh ke kiri dan tubuhnya ketiban motornya, tubuhnya lemas saking terkejutnya. Matanya memandang seseorang yang mengendarai motor itu berdiri dan melepas helmnya. Mata Camilla membulat sempurna saat melihat siapa pengendara motor yang sudah menabraknya dan kini berjalan mendekat.

“Apa kau masih sanggup pergi ke Blitar atau Surabaya?” seluruh tubuh Camilla membeku mendengar suara yang sangat dingin, lebih dingin dari yang ia dengar di sekolah tadi.

“W... Wai... Aku-”

Hawai berjongkok di depan Camilla yang masih terbaring dengan motor di atasnya, tatapan dingin itu membekukan lidah Camilla hingga tak mampu meneruskan kalimatnya. “Kenapa kau kabur? Bukankah seharusnya kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu?”

“Pp.. perbuatan apa? Ak.. aku tidak melakukan apapun pada kekasihmu.” Camilla menggigit bibir bawahnya saat tangan Hawai terulur dan menyentuh kepalanya. Ia semakin merinding saat merasakan elusan lembut disana.

DispenserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang