Sembilan

169 37 14
                                    

Zakia’s pov
-Pondok Al- Mutakabbir-
18:00 WIB

Aku menekan tombol power cepat-cepat dan memasukkan ponselku ke dalam tas sebelum kembali mendengarkan Om Umin yang menjelaskan tentang Ramadhan dan Idul Fitri.  Oke, akan ku jelaskan kenapa aku bisa berada disini malam-malam begini.

Semua ini berawal dari ide brilian Mama yang mengusulkan agar anak-anak mendapatkan pencerahan batin alias ceramah selama liburan. Seharusnya kegiatan ini dimulai tiga hari lagi, tapi sekali lagi Mama dengan ide briliannya itu tidak bisa ditolak Papa.

Dasar bucin!

Peserta ceramah ini tidak hanya aku dan dua adikku, ada juga Salman dan kedua adiknya, Satria dan adik-adiknya, juga tak ketinggalan tetangga sebelah: Naya, Hilal, Dia dan Bima hadir disini menjadi penggembira.

“Dalam surah Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan tentang wajibnya puasa di bulan Ramadhan.” Aku mengangguk dan mencatat penjelasan Om Umin.

Entah kenapa hanya terdengar suara lantang Om Umin, biasanya geng rusuh yang terdiri dari Dia, Khanza, Mirza, dan Nakula ribut. Aku menatap geng rusuh yang memperhatikan Om Umin, tentu saja hal ini membuatku terkejut.

Tumben sekali.

Aku menatap geng rusuh yang duduk berdekatan, mereka menyimak memang namun sorot mata mereka tinggal 5 watt saja. Ayolah, kelas baru dimulai 10 menit yang lalu dan mereka sudah mengantuk? Bagaimana dengan sekolah mereka?

Pantas saja Mirza selalu remidi.

“Ada pertanyaan?” Om Umin berbalik dan menatap kami satu-persatu.

Senyumnya mengembang beberapa menit kemudian, “Baiklah, karena tidak ada pertanyaan kelas hari ini selesai.” suara Om Umin seperti angin segar yang mampu menghilangkan kantuk geng rusuh. Oh lihatlah senyuman lebar di wajah mereka sekarang.

Hey, pertemuan pertama hanya 15 menit?

“Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Geng rusuh membereskan alat tulis dan berebutan keluar kelas.

“Apa mereka kepanasan berada di kelas agama hingga berebutan keluar?” Aku dan Salman tertawa mendengar komentar pedas Hilal.

“Sepertinya begitu.” Om Umin berjalan ke arah kami. “Kalian tidak keluar kelas?”

“Hmm, sebenarnya 15 menit tidak cukup untuk kami.” Aku mentap horor ke arah Salman yang tersenyum dengan lebarnya.

“Salman benar, Om. Khusus kami ditambah lagi materinya.” Hilal dan Kanaya mengangguk setuju dengan usulan Satria.

“Benar tidak apa?”

“Ya, tentu saja Om Umin.” Salman mengangguk semangat saat mendengar suara Nova.

“Baiklah, kita lanjut saja materinya.” Om Umin lanjut menerangkan tentang puasa yang tadi sempat terhenti.

Baiklah, tidak ada salahnya menambah ilmu agar nanti menjadi orang yang berguna bagi negara ini.

Ddrrrtttt

Aku menunduk menatap tasku yang terbuka, terlihat ponselku menyala karena ada notifikasi yang masuk. Napasku tercekat begitu membaca siapa yang mengirimkan pesan padaku.
Hawai.

Dia membalas pesanku!

Aku menoleh ke arah Salman dengan mata berbinar dan senyuman cerah. Namun senyumanku luntur begitu melihatnya fokus menatap Nova yang sedang bertanya pada Om Umin. “Heh!” Salman berjingkat saking terkejutnya.

DispenserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang