Dua Puluh Satu

134 31 7
                                    

Zakia’s pov
17:00 WIB

Senyumku mengembang menatap pemandangan pohon-pohon di luar kaca jendela mobil. Liburan terasingkan selama 3 hari 2 malam selesai juga dengan banyak memori menyenangkan.

Seperti Chef Baba yang pertama kalinya dalam sejarah menggosongkan tahu yang sedang digorengnya karena sibuk membantu Mama yang saat itu repot sendiri dengan sosis. Sebagai Chef terkenal tentu saja harga dirinya terluka, walau sebenarnya ini kesalahan yang wajar.

(Note: Nggorengnya pakek nesting gaes. Kompornya juga portable.)

(Beginilah kira-kira gaes penampakannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Beginilah kira-kira gaes penampakannya.Anggap aja di dalam nesting itu tahu goreng 🙏🙏)

“Meskipun kejadiannya sudah kemarin, aku masih saja tertawa mengingat nasib tahu milik Chef Baba.” Suara tawaku memecah keheningan di mobil.

“Jangan seperti itu, Mbak. Mbak ingat kan bagaimana sedihnya Baba mengetahuinya?”

“Ya sih Pa. Kejadian itu juga sangat langka, jika bukan karena Mama tidak mungkin Chef Baba menggosongkan tahunya.”

Papa tertawa. “Benar. Bertahun-tahun berlalu, Mamamu belum juga paham sosis memiliki plastik pembungkus yang harus di hilangkan dulu.” Aku menggeleng mengingat kejadian itu.

“Bude sama sama seperti Umma. Sering Umma memasak udang tanpa mengupasnya lebih dulu, kan kasihan Uti dan Akung yang tidak tahu dan langsung memakannya.” Aku dan Papa tertawa mendengar keluhan Salman.

“Kakak adik memang selalu kompak.” Aku mengangguk setuju dengan Papa. Tenang saja, Mama sedang tidur lelap jadi tidak tahu apa yang kami bicarakan.

“Tapi menurutku yang paling lucu saat Baba dan Buna ribut, bukannya kita khawatir malah menjadi hiburan untuk kita semua.” Aku dan Salman tertawa, memang ributnya Baba dan Buna itu lain dari yang lain.

“Betul sekali.”

Papa mengangguk, “Ya itu yang menyenangkan. Baba dan Buna yang bertanggung jawab mengenai keramaian di rombongan kita.”

“Setuju!” teriakku dan Salman.

“Eh Mbak, sinyal sudah ada.” Salman tersenyum jahil sebelum kembali memainkan ponselnya.

Aku heran padanya, bisa-bisanya dia memainkan permainkan cacing dengan satu tangan karena tangan kirinya memegang si gembul Khanza yang ingin dipangku kakaknya. 

“Ya, tapi batrai ponselku habis.”

“Sabar ya, Mbak. Nanti sampai rumah di charger.” Aku mengangguk saja mendengar suara satu-satunya saudara yang peduli padaku dan pada kisah cintaku.

Ya, kedua bocah laki-laki yang menyandang status saudara kandungku sendiri tidak peduli. Mirza meminjam ponselku dan dia gunakan untuk memotret semua hal yang membuatnya menarik dan menggunakannya untuk merekam video hingga batrai ponselku habis.

DispenserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang