Jangan pernah menunda pekerjaan, karena alih-alih meringankan bebanmu, justru akan menguras tenagamu lebih banyak. Orang-orang yang bilang begitu. Dulu, ibunya juga sering mengatakan hal serupa. Selama 21 tahun hidupnya, alih-alih menurut, Rachel justru menyepelekan dan tidak pernah menganggapnya serius. Dia cenderung bersikap angin lalu ketika ibunya mengingatkan demikian. Dia pikir, tidak mungkin akan semelelahkan itu. Yah, setidaknya, itu berlaku bertahun-tahun sebelum dia merasakannya sendiri.
Seminggu lebih mengabaikan pekerjaan rumah membuatnya jera. Tidak ada lagi yang namanya ngebut sehari. Mengerjakan semuanya di waktu bersamaan membuat gadis berkaus longgar itu kewalahan. Menyapu, mengepel, menyuci pakaian dan piring, serta membersihkan debu sekaligus membuatnya mempertanyakan apa yang diyakininya selama ini. Lain kali, sesibuk apapun, Rachel janji akan meluangkan waktu menyicil pekerjaan rumah. Ini sungguh melelahkan. Dia baru mengakui apa yang dikatakan orang-orang dan ibunya dulu.
Sebelum berangkat ke kantor, Argan memang sempat membantunya menyuci baju dan menyapu. Tapi ketika melihat jarum jam sudah menunjuk angka 7, Rachel langsung memaksanya berhenti dan bersiap pergi bekerja saja. Alhasil, laki-laki rupawan itu hanya mampu menyelesaikan setengah. Rendaman pakaian masih teronggok di mesin cuci, debu-debu masih menggumpal di ruang tamu, dan Rachel harus melanjutkannya di sela-sela membersihkan dapur dan menggosok perabotan rumah.
Sebenarnya, Argan tidak pernah memaksanya mengerjakan semua sendiri. Argan selalu menawarkan bantuan untuk mengerjakan bersama di akhir pekan. Dia bukan tipikal laki-laki patriarki. Tapi berhubung hari ini jadwal kuliah kosong dan stok pakaian di lemari mulai menipis serta rumah sudah terlihat kusam, Rachel nekat mengganyanginya sendiri. Jika menunda lebih lama, bisa-bisa tak ada pakaian lagi yang tersisa di dalam lemari.
Setelah maraton selama berjam-jam, akhirnya pukul 10 Rachel baru menandaskan pekerjaan terakhirnya; menjemur pakaian di halaman belakang. Bertepatan dengan helaan napas yang menguap dari bibirnya ketika memasuki rumah, ponselnya yang berada di atas meja makan pun berdering. Matanya memejam sejenak, napasnya masih ngos-ngosan. Selang beberapa detik, kakinya baru melangkah lagi.
Dengan lemah, Rachel meraih benda pipih itu dan mengusap layarnya, lalu menempelkannya ke salah satu telinga. "Halo, Bang?"
"Ra."
"Iya."
Terdengar gemerisik dari seberang sana. Tidak ada sahutan. "Halo?"
"Ra? Lo denger gue?"
"Iya, gue denger. Ada apa?"
Kembali terdengar deru memenuhi panggilan. "Ra?"
"Iya. Lo di mana?"
Masih ribut. Suara Rio bak tertelan angin. "Ra."
"Iya, Bang. Lo di mana? Berisik banget. Ada apa?"
"Maaf tadi gue lagi di luar makanya berisik. Ini gue udah di rumah. Em, ntar siang ke sini, ya. Diskusi soal nikahan gue. Gue butuh bantuan lo."
Rachel refleks mencebik. "Kebiasaan. Selalu dadakan kalo ngasih kabar."
"Lo ... ga ada kuliah, kan?"
"Kalo ada?"
"Gak mungkin. Nathan aja bisa pas gue suruh ke rumah. Masa lo ga bisa? Dia bilang ga ada kuliah."
"Emang Nathan udah di rumah?"
"Belom, maksud gue nanti siang dia udah iyain buat dateng. Lo dateng juga, ya. Gue tunggu."
"Ih, gue capek banget hari ini abis ngerjain kerjaan rumah. Mager, pengen baring aja." Rachel menggapai segelas air di samping dispenser dan meneguk isinya. "Besok aja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomantikArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...