"Model yang akan mempromosikan produk kolaborasi antara Rud's Company dan Briaska's Company mengundurkan diri, Pak. Beliau jatuh sakit."
"Apa?!"
"Sekretaris pak Argan baru memberitahu saya tentang berita itu, Pak."
"Baik, baik. Katakan pada sekretarisnya besok pagi saya akan menemui Argan di kantornya."
Edo memijat pelipisnya bergantian, kanan dan kiri, kadang melebar ke daerah dahi demi mengenyahkan pusing yang tak kunjung surut menyerbu otaknya. Percakapan singkat tapi mengejutkan semalam terus melanglang buana di dalam pikirannya, bagai sekumpulan nyamuk yang tak mau pergi.
Semalam, dia sedang bercengkrama dengan anak istrinya ketika telepon dadakan dari sekretaris Rudi masuk ke ponsel miliknya. Tak lama setelah mengangkat panggilan tersebut, makan malam indah yang tengah digelutinya bersama keluarganya tiba-tiba berubah suram dan kelam.
Edo merasa panggilan semalam merupakan racun baginya. Dia yakin sekarang tubuhnya sudah mengeluarkan hormon kortisol berlebihan.
Tak henti-hentinya laki-laki agak tambun itu menghela napas berat, memijat kepala, mengambil napas panjang, lalu mendentang-dentingkan sendok dan garpu tanpa ada niatan menyicipi sarapan buatan istrinya--yang katanya selalu sempurna dan mencerahkan hatinya setiap pagi.
"Ada apa, Pa? Murung terus dari tadi."
Edo tersadar ketika Rini menumpukan telapak tangannya yang hangat di atas punggung tangannya yang dingin. Perbedaan suhu yang kontras membuatnya mudah tertarik kembali ke dunia nyata. "Eh, gak apa-apa kok, Ma. Cuma ada sedikit pikiran aja."
"Sedikit atau banyak?"
"Sedikit."
Rini mengembuskan napas panjang, lalu melepas tumpuan tangannya. "Kalo sedikit aja udah sebegini pusingnya, gimana lagi kalo banyak?"
Tiara yang tengah duduk berseberangan dari ibunya nyaris tersedak daging ayam mendengarnya. Sedari tadi dia hanya mengamati, tanpa ada niatan bertanya atau ikut campur. "Mama ada-ada aja, bisa-bisanya bercanda pas Papa lagi pusing gitu."
"Abisnya Papa gak mau cerita, Ra. Semalam sejak terima telpon entah dari siapa, mama perhatiin Papa mulai berubah."
Edo menghela napas berat. "Masalah kantor, Ma. Biasa."
"Ada apa memangnya?"
Edo menghela napas. Lagi. Tangannya pelan tapi pasti terulur menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Bagaimana pun juga dia tak mungkin berangkat ke kantor tanpa nasi di perutnya. "Tentang perusahaan Rudi, Ma."
"Yang dipercayain sama Papa itu?"
"Iya."
"Ada masalah apa?"
Edo melirik Rini dan menatapnya sejenak. Istrinya itu selalu berusaha menjadi tempat keluh kesah baginya. Hanya saja kadang dia yang tak tega menjadikan wanita itu sebagai wadah luapan masalahnya. "Gak apa-apa, Ma. Udah, jangan dipikirin."
"Cerita aja kali, Pa. Kita juga gak bakal ngerasa disusahin, kok." Tiara mengangkat bahunya. Dia seolah tahu apa yang dipikirkan ayahnya.
"Iya, Pa, cerita aja."
Edo mengembuskan napas berat, lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih rileks. "Rudi jalin kerja sama dengan perusahaan lain untuk produk kolaborasi, Ma. Semalam papa dikabari kalo model buat ngepromosiin produk itu mengundurkan diri karena sakit."
"Kok mendadak?"
Edo mengedik. "Ya gak tau, Ma. Namanya juga sakit. Hari ini papa mau diskusi gimana solusinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomansaArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...