BAB 60 : JURUS PAMUNGKAS

633 27 0
                                    

Setelah kurang lebih tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Edo diperbolehkan pulang. Sepanjang pengobatan hingga perjalanan menuju rumah, Rini tak sedetik pun mengizinkan Tiara mendekati apalagi menyentuh Edo.

Jangankan menyentuh, mendapati Tiara menatap ayahnya saja Rini sudah cepat-cepat memintanya menjauh. Dia urung memberi kesempatan sekecil apapun dan langsung mengusir Tiara sejauh mungkin. Setelah mengetahui apa yang menyebabkan Edo pingsan waktu itu, dia benar-benar trauma pada anaknya sendiri.

Sungguh, Rini takut Tiara akan melukai Edo lagi yang membuat kondisi jantungnya memburuk. Mungkin tatapannya akan mengintimidasi Edo atau perkataannya akan menyakiti hati laki-laki malang itu. Bisa saja Tiara juga sudah kehilangan akal hingga tega melenyapkan ayahnya sendiri, kan?

Ah, spekulasi Rini lebih liar daripada liar. Dia benar-benar separno itu.

Rini juga tak lagi memikirkan perasaan anak semata wayangnya. Satu-satunya yang ada di pikirannya hanyalah keselamatan Edo. Dia menganggap Tiara seperti monster yang akan menyakiti suaminya. Gadis itu harus diberantas, harus diperangi.

Malang sekali nasibnya. Dulu kesayangan mama, sekarang kebencian mama.

Who cares?

Si biang kerok memang pantas dimusuhi.

Begitu pintu rumah terbuka, Rini langsung masuk disusul oleh Tino dan Tiara di belakangnya. Penampilan Edo di kursi roda begitu memprihatinkan. Dia diam, menatap kosong ke depan, dengan kepala diperban dan posisi mulut yang miring.

Baik Rini maupun Tiara, tak ada yang tega melihat kondisinya. Mata mereka sudah tak tahu bilang sebengkak apa. Menangis hampir setiap detik, menyesali masa lalu yang tak mungkin diubah.

Siapa yang harus disalahkan kalau sudah begini? Barangkali inilah definisi nasib tak ada yang tahu.

"Tino, tolong antar om ke kamar. Tante mau ngomong sama Tiara."

Sejenak, Tino mengernyit sembari menghentikan langkahnya. Setahunya, Rini enggan bicara dengan Tiara semenjak Edo masuk rumah sakit. Kini dia tiba-tiba mau ngobrol empat mata dengan si bobrok?

Ah, pasti membicarakan sesuatu yang penting. Tidak mungkin mau ketawa-ketiwi, kan?

"Oke, Tante," sahut Tino kemudian. Ia segera mengambil alih kursi roda dari tangan Rini dan membawa Edo ke kamar.

"Ikut mama."

Rini mendahului Tiara untuk menuju taman belakang rumahnya. Nada suaranya ketus, dingin dan penuh kemarahan. Tiara hanya mengikuti sambil menggigit bibir bawahnya. Jadi begini rasanya dibenci ibu sendiri? Menyedihkan.

"Mama mau ngomong apa?" tanya Tiara setelah mendaratkan tubuh di bangku besi. Ada jarak antara mereka. Satu di ujung kanan, satu di ujung kiri.

"Mama sebenarnya udah males ngomong sama kamu, tapi mama harus kasih peringatan keras demi kebaikan papa. Please jangan ngelakuin hal yang akan memperburuk kondisi papa. Jangan jadi perusak apalagi pembunuh ayah sendiri. Kami udah cukup menderita punya anak kayak kamu."

Huft.

Persis seperti dugaannya. Rini marah semarah-marahnya hingga sampai hati mencelanya.

Helaan napas panjang berembus dari mulut Tiara. "Aku tau Mama sekarang benci banget sama aku. Aku minta maaf."

"Mama ga butuh maaf dari mulut ular kayak kamu. Yang mama butuh bukti dan jaminan kalo kamu ga akan bertindak bodoh lagi yang bikin keluarga kita makin berantakan."

Jleb.

Ular?

Tega-teganya.

Ah, tidak. Tiara kan memang si black mamba.

BETWEEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang