Sejak usianya baru menginjak 8 tahun, Rachel sudah tertarik pada dunia masak memasak. Dulu, ketika ibunya masih ada, dia sering menguntit mendiang wanita paruh baya itu tiap kali beliau beraktivitas di dapur. Entah itu hanya sekadar duduk di ruang makan untuk mengamati dari jauh, duduk di meja samping kulkas demi memantau lebih dekat, atau mengupas bawang dengan tangan mungilnya dan mematahkan buntut taoge, Rachel pasti akan ambil bagian.
Dulu, mereka selalu bertukar cerita dan belajar bersama karena ibunya juga merupakan seorang pecinta masak. Tiap malam sebelum tidur, Rachel pasti selalu didongengi tentang masakan alih-alih dongeng putri tidur atau pangeran kuda putih seperti anak seusianya yang lain. Dia tak masalah. Rachel kecil justru senang. Berkat kebiasaan mereka dulu, kini dia tidak buta lagi ketika harus berkutat di dapurnya sendiri.
Sebagai bonus, sekarang Rachel dapat menyenangkan hati suaminya. Meski laki-laki berusia dua tahun lebih tua darinya itu tidak mempermasalahkan urusan makanan (Argan menyampaikannya ketika melamar Rachel kalau dia tak apa makan ala kadarnya atau membeli di luar), tapi gadis itu tak mau memanfaatkan kebaikan hati suaminya. Dia selalu berusaha maksimal memasak untuk Argan, dan mencari resep-resep baru pula agar laki-laki itu tak bosan.
Satu-satunya hal yang Rachel sesali atas kebiasaannya dulu bersama sang ibu adalah; setelah kematian wanita itu, dia tidak pernah punya teman lagi untuk bercerita. Setelah bertahun-tahun berlalu, Rachel tidak pernah lagi menemukan seseorang yang pas buat diajaknya tukar pikiran. Belum.
Hingga ketika memasuki bangku kuliah, dia baru menemukan Risa. Perempuan itu ternyata klop diajak cerita soal masakan. Rachel tahu Risa suka masak, tapi baru sadar dia juga asyik dijadikan teman sehobi ketika mereka ada di semester tujuh. Telat memang. Tapi masih lebih baik dari pada tak pernah menemukannya.
"Eh Ris, minggu lalu gue nyoba bikin donat tanpa ulen, tapi kenapa jadinya keras banget, ya?"
Risa menyapukan matanya ke halaman majalah yang sedang ia baca, menyelesaikan satu paragraf lagi yang belum sempat diselesaikannya. Lalu, membalik lembaran baru seraya membetulkan letak kacamata tebalnya. "Mungkin lo salah nakar bahan-bahannya kali, Ra."
"Gak mungkin, Ris. Gue udah nakar pake timbangan dan bener-bener detail masukin bahannya." Rachel menggeser tubuhnya menghadap teman sekelasnya itu agar bisa menatapnya lebih intens.
"Hmm ...." Risa mendongak. Dari raut wajahnya yang tampak serius di balik kacamata minus itu, sepertinya dia sedang berpikir. "Apa karena kualitas bahannya yang kurang bagus? Tepungnya mungkin? Lo pake pelembut gak? Semacam SP gitu?"
Kening Rachel berkedut, kulitnya terlipat ke dalam. "Kalo pelembut gue pake, karena sekalian beli sama bahan yang lain. Tapi kalo tepung ...," gadis itu mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, "apa memang yang gue beli kurang bagus? Soalnya gue gak nanya mana yang bagus, gue langsung ambil aja pas udah ketemu tepungnya."
"Nah, itu!" Risa menjentikkan jarinya kuat-kuat di hadapan Rachel. "Mungkin karena bahannya kurang bagus jadinya donat lo keras. Lain kali coba pake bahan yang bagus. Setau gue, kualitas bahan itu ngaruh banget ke hasil, Ra." Lalu dia membaca bukunya lagi.
Rachel manggut-manggut. "Iya kali, ya. Besok-besok coba gue beli tepung yang baru, deh. Oh ya, bulan lalu gue juga buat mochi tapi gak bisa dibentuk adonannya. Jadinya lengket banget. Buat diambil aja susah. Padahal gue udah ngikutin semua takaran dan prosedurnya. Kira-kira kenapa, ya?"
Risa menoleh dari bukunya, menatap Rachel dengan sebelah alis menukik. "Masa? Jangan-jangan karena kualitas bahannya lagi?"
Rachel menggigit bibir bawah bagian dalamnya. "Kalo selain karena bahannya, ada kemungkinan apalagi, Ris?" tanyanya seraya menyelipkan sejumput rambut ke daun telinga. Duduk di bawah pohon dekat kantin memang adem, tapi terkadang anginnya berembus terlalu kencang. Meski sudah dijepit, tapi beberapa anak rambutnya masih suka berkeliaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...