BAB 48 : SETELAH TIGA HARI

1.6K 50 0
                                    

Ini sudah tiga hari sejak kepergian Rachel. Sesuai kesepakatan tempo hari bersama teman-temannya, Argan menurut untuk tidak menjemput Rachel dan membiarkannya menenangkan diri. Meski dunianya serasa runtuh dan nyaris kiamat, Argan tetap harus melakukannya. Bagaimana pun dia tidak ingin membuat istrinya semakin kecewa dengan memaksanya pulang.

Lagipula, sebagian otaknya yang masih rasional meyakinkan jika situasi ini memang yang mereka butuhkan. Keduanya sama-sama butuh ruang untuk berpikir dan introspeksi diri. Jika prahara ini diselesaikan dengan kepala panas takutnya malah berujung ke muara terburuk.

Tentu saja Argan tidak menginginkannya. Dia masih mencintai Rachel dan sudah berjanji hanya sekali pernikahan dalam hidupnya. Apalagi sejak menyaksikan betapa hancurnya Rachel hingga pergi dari rumah gara-gara ulahnya, dia jadi lebih menyadari artinya teman hidup. Argan enggan membuat kesalahan lagi sebab kebodohannya.

Sejenak, embusan napas panjang meluncur dari bibir Argan kala tangannya menggantung kemoceng di sangkutan dinding. Jemarinya terangkat mengusap peluh di dahinya sebelum mendaratkan tubuh di kursi ruang tengah.

Hari ini hari Minggu. Biasanya dia akan membantu Rachel merampungkan pekerjaan rumah dan menghabiskan waktu berdua, tapi kini ia harus sendirian dan mengerjakan semuanya.

Tidak ada yang memaksanya menyapu, menyuci, membersihkan debu dan mengepel lantai. Argan yang inisiatif melakukannya demi menyenangkan Rachel. Wanita itu tidak suka berantakan dan karena malam ini ia akan menjemput Rachel, jadi Argan berusaha bersiap sebaik mungkin.

Ya, hari ketiga berarti masa menunggunya sudah habis. Tadi pagi ia menghubungi Amanda untuk menanyakan kabar Rachel sekaligus memberitahu kalau ia akan datang malam ini menjemput istrinya.

Semoga Rachel mau pulang.

Bertepatan dengan bangkitnya ia dari kursi guna membersihkan diri, ponselnya tiba-tiba berdering. Argan menyebrangi ruang tengah dengan semangat sebelum meraih ponsel yang tergeletak di meja makan. Siapa tahu itu Rachel, batinnya.

Malang, alih-alih dari Rachel itu justru dari Tino. Argan refleks memutar bola mata jengah. Jujur, dia sangat muak dengan hal-hal yang berkaitan dengan Tiara dan tidak ingin berurusan lagi bahkan dengan Martino sekalipun.

Argan lantas menolak panggilan tersebut. Namun di detik berikutnya benda pipih itu kembali berkicau. Argan menolaknya lagi tapi tetap begitu seterusnya.

Sembari mencebikkan bibir, ia mengangkat panggilan itu malas-malasan. "Ada apa sih, No?"

"Sorry gue ganggu. Gue mau ngomong sebentar."

"Gue gak mau ngomong sama lo."

"Sebentar aja. Ini penting."

"Gue gak mau berhubungan lagi sama lo dan hal-hal yang berkaitan dengan Tiara."

Helaan napas terdengar dari ujung sana. "Gue paham, tapi kali ini aja. Abis ini gue janji gak ngusik lo lagi."

"Tapi gue gak mau. Lagian apa yang perlu diomongin? Kita ga ada sangkut pautnya."

Argan bersiap mengakhiri panggilan sebelum Tino melontarkan dua kata, "Gue mohon."

Suaranya pelan, memelas dan menyentuh.

"Apa lagi?"

"Ini tentang ketenangan batin gue dan juga amanah dari om Edo. Ketemu di The Kafka, ya. Jam 2."

Argan memejamkan matanya rapat-rapat. Malas sekali melihat wajah Tino. Rasanya kilasan kesalahannya selama ini menyeruak kembali ke permukaan.

"Please, Gan. Gue gak mau dicap gak amanah. Kita mulai semuanya sama-sama dan sekarang kita selesaiin juga sama-sama."

BETWEEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang