Brak.
"Aww ...."
Rachel meringis pelan. Ia memegangi lengan dan punggungnya yang terbentur keras menabrak semen. Sekejap, dunia seolah berhenti. Apa itu tadi? Ada serangan alien? Ada gempa bumi? Kenapa dia tiba-tiba terdorong ke tengah jalan lalu terdorong lagi ke pinggir jalan dalam sepersekian detik?
Meski rasanya seperti di awang-awang, tapi Rachel ingat betul saat itu ia sudah menutup mata seakan pasrah untuk apapun yang bakal terjadi. Berbagai kendaraan mulai dari yang kecil sampai yang raksasa seperti truk sedang ramai-ramainya berlalu-lalang. Berada di tengah jalan sudah pasti tertabrak. Tidak mungkin tidak. Minimal UGD.
Perlahan, Rachel bangkit sembari membuka kelopaknya. Otot-ototnya ngilu, kulitnya tergores, penglihatannya berkunang-kunang. Kepalanya pun pening. Tentu saja. Mana mungkin tidak pusing setelah selamat dari maut yang di depan mata.
Sebentar.
Maut?
Selamat dari maut?
Alhamdulillah.
Tapi ... siapa yang menyelamatkannya?
Apa dia juga baik-baik saja?
Seingatnya, tadi ia sedang berseri-seri saat Argan berhasil mendapatkan dua cup teh pocinya. Lalu, laki-laki itu berbalik dan di detik yang sama ia pun terdorong ke tengah jalan. Samar-samar, Rachel mendengar suara Argan yang meneriaki namanya seperti orang kesetanan.
Selepas itu, semuanya gelap dan bangun-bangun ia sudah terguling di semen pekarangan museum.
Ngomong-ngomong soal Argan ...,
di mana dia?
Kenapa tidak mengecek kondisinya?
Rachel mengedarkan atensi ke segala sisi.
"Kasian banget, ya."
"Liat tuh, ada orang ketabrak."
"Tolongin woi, malah nonton."
"Ga berani, merinding liat darahnya banyak banget."
"Heroik banget ya ngorbanin diri sendiri buat ceweknya."
"Kayaknya lukanya parah. Orangnya masih sadar gak tuh?"
Rachel mengernyit sembari menajamkan indra pendengarannya.
Cewek?
Cewek siapa?
Maksudnya dirinya?
Siapa yang ketabrak?
Apa yang menolongnya tadi?
Argan?
Di mana dia?
Ah, terlalu banyak pertanyaan memenuhi otak Rachel sampai-sampai kepalanya semakin pusing tujuh keliling.
Setelah beberapa detik lagi mengumpulkan diri, barulah Rachel berhasil mencerna keadaan.
Khalayak berkerumun menonton orang tertabrak. Dia tidak menemukan Argan.
Apa jangan-jangan ....
Ah, tidak mungkin.
Secepat kilat Rachel membelah kerumunan guna membuktikan prasangkanya.
Ia salah, kan?
Mustahil ....
Malang.
Begitu melihat siapa yang dibicarakan, detik itu juga Rachel seketika mematung. Petir seolah menggelegar di dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomansaArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...