"Ke kantor gue sekarang."
"Tap---"
Bip.
Argan memutus panggilan sepihak, bahkan sebelum si penerima sempat menyelesaikan ucapannya. Dia menelepon tanpa kata pengantar, nada ramah, apalagi basa-basi. Hanya ada aura dingin yang membalut kata-katanya.
Tentu saja.
Dia sudah kehilangan tata krama sejak kejadian barusan.
Menyaksikan Rachel menghilang di balik pintu taksi sembari berlinang air mata membuat otaknya nyaris meledak karena tekanan rasa bersalah. Hari ini benar-benar sial. Dia bahkan tak bisa menghentikan kepergian istrinya sendiri. Ekspresi kecewanya begitu dalam, cukup dalam untuk menenggelamkan Argan hingga ia tak mampu melakukan apapun.
Lima menit pertama setelah kepergian Rachel, Argan hanya mematung memandangi tempat terakhir ia melihat istrinya.
Lima menit kedua, dia menangis merutuki kebodohannya seraya meremas rambut yang tak bersalah.
Semenit setelahnya, akalnya baru mencuat ke permukaan. Otaknya mulai berfungsi, meski masih lambat, setelah sekian lama hanyut dalam lautan antah berantah; antara mimpi dan kenyataan.
Dua menit berikutnya, dia tersadar sepenuhnya. Hati dan pikirannya berlomba-lomba memberi saran apa yang seharusnya dilakukan. Sepersekian detik, hatinya mendorong agar ia segera menyusul Rachel pulang ke rumah. Bukankah ia harus secepat kilat bicara dengan istrinya dan meminta maaf berkali-kali?
Namun langkah yang baru bergulir dua meter mendadak tertahan ketika bagian otaknya yang lain menawarkan solusi alternatif.
Mungkin sebaiknya ia tidak menemui Rachel dulu.
Dia pasti butuh waktu sendiri.
"Lebih baik kamu selesaiin urusan kamu sama kak Tiara, Ar."
Lagipula ucapan Rachel ada benarnya.
Perempuan tidak tahu malu itu harus diberi pelajaran. Cepat, Argan berbalik dan berlari menuju ruangannya. Dia pasti masih berada di sana.
Pada saat itulah, dia menyempatkan menelepon Tino untuk menunjukkan kekacauan apa yang telah diciptakan wanita yang dicintainya---atau mungkin tidak lagi?--- itu.
Berpuluh-puluh pasang mata langsung menyambut begitu ia menjejakkan kaki di lobi. Ternyata, sedari tadi para karyawan tidak bekerja, malah bergerombol seperti anggur demi menontoninya. Ah, mereka cari mati.
Pemandangan itu tak pelak langsung mengeraskan raut wajah Argan yang sudah keras. Rahangnya mengetat, pandangannya menggelap.
"Apa saya harus memecat kalian semua detik ini juga?"
Bagai kerupuk disiram air, para penonton seketika menciut ketakutan. Mereka yang sejak kedatangan Argan sudah kaget, menjadi lebih kaget mendengar kalimat menyeramkan tersebut. Serentak, mereka menggeleng dan meminta maaf, lalu terbirit-birit ke tempatnya masing-masing.
Embusan napas panjang menemani Argan kala ia berjalan kembali menuju lift. Belum habis satu, sudah muncul yang lain. Benar-benar menyebalkan.
Malang, kejengkelannya harus bertambah berkali-kali lipat ketika membuka pintu ruangannya, matanya justru menangkap sosok Tiara yang tengah duduk bersedekap sembari melayangkan senyum selebar layar bioskop.
Sanking panasnya, kepala Argan mungkin dapat mematangkan lima butir telur sekaligus.
Brak!
Debaman itu mengaum ke seluruh penjuru ruangan. Argan melangkah tergesa-gesa dan menarik kasar tangan Tiara. Gadis itu sontak melebarkan matanya. Dentaman pintu barusan nyaris membuat jantungnya copot, dan sepertinya akan benar-benar copot saat Argan meremas tangannya seakan hendak mematahkannya. Argan kemudian menyeretnya dan melemparnya seperti sampah ke tengah-tengah ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...