"Pelan-pelan," ujar Rachel sembari menuntun Argan duduk di sofa ruang tengah. Sigap, ia meluruskan kaki laki-laki itu ke samping dan melucuti satu per satu kancing kemejanya agar lebih rileks.
"Makasih ya, Ra, udah bantu aku."
"Udah tugas aku bantuin kamu, Ar." Rachel beringsut lebih dekat kala Argan menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Ia lalu membukakan pakaian Argan sepenuhnya hingga hanya menyisakan kaus dalamnya yang berwarna hitam.
"Kamu jangan sedih gitu dong mukanya."
"Emang aku lagi sedih."
"Jangan sedih. Aku ga apa-apa."
Rachel mencebik seraya melirik Argan yang merangkul pundaknya. "Gimana ga sedih kalo keadaan kamu kayak gini? Pasti nyeri banget kan rasanya?"
"Enggak. Aku ga apa-apa, kok."
"Bohong. Kamu bahkan ga bisa jalan sendiri sanking lemesnya. Untung masih bisa nyetir tadi."
Argan tergelak. Tangannya terulur mengusap jejak air mata di pipi Rachel. "Itu biar manja aja sih makanya aku ngelendotan sama kamu pas jalan."
"Aku lagi ga becanda."
"Aku juga ga becanda. Jangan sedih. Aku beneran ga apa-apa."
Embusan napas Rachel terdengar kasar. Tak mampu dicegah, sebulir air bening menetes lagi dari pelupuknya ketika Argan menyandarkan kepala di bahunya. Dia tampak begitu letih dan lesu. Meski bibirnya mengulas senyum, garis-garis kesakitan tak dapat disembunyikan dari wajahnya.
"Tuh kan, baru dibilang jangan sedih kamu malah nangis."
"Aku takut banget tau."
"Takut kenapa? Aku kan ga apa-apa."
Rachel mengesah. "Ya takut kamu kenapa-kenapa lah. Gimana kalo bang Rio ga mau berhenti? Atau kamu pingsan? Lagian kenapa juga ga ngelawan? Aku tau kamu kesakitan banget. Ga mungkin ga apa-apa."
"Kamu ga percayaan banget. Aku kan udah bilang ga---"
"Udah, deh. Kamu selalu bilang ga apa-apa padahal nyatanya babak belur. Bentar aku ambil kotak P3K sama minum dulu buat kamu."
Argan menghela napas berat. Perlahan, ia terpaksa melepaskan tangannya dari pundak Rachel saat ia bangkit berdiri. "Padahal beneran ga apa-apa, loh."
"Stop bilang ga apa-apa."
Argan berdecak melihat ekspresi Rachel yang cemberut. Rachel-nya tidak pernah berubah. Dari pertama kali pacaran sampai sekarang setelah menikah, dia selalu saja panikan jika Argan terluka.
Dimaklumi, sih. Namanya sanking sayangnya.
Sambil menyandarkan tubuhnya, Argan lantas mengawasi istrinya mengambil peralatan membersihkan luka, menuangkan air di gelas, kemudian kembali duduk di sebelahnya.
"Nih, minum dulu baru aku obatin."
Sodoran Rachel disambut baik oleh Argan. Ia meneguk airnya hingga tandas dan meletakkan gelasnya di atas meja.
"Udah, Ra."
"Sekarang tahan dikit, ya. Kalo sakit bilang."
Bagai balita yang patuh, Argan mengangguk dan merapatkan tubuh mereka begitu Rachel mulai mengobatinya. Wanita itu dengan telaten dan ekstra hati-hati membasahi kapas lalu menekankan alkohol tersebut ke lebamnya.
Argan mengamati setiap pergerakan istrinya dengan hati menghangat. Mendadak perasaan deja vu menghampirinya melihat Rachel dalam posisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomansaArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...