Hari sudah petang. Ini sudah lima jam sejak Rachel meninggalkannya di beranda kantor tadi siang. Argan baru tiba di rumah dan langsung memarkirkan mobil di garasi namun tak segera turun dan memilih mengembuskan napas panjang berulang-ulang. Sesekali ia melirik pintu cokelat di hadapannya. Pintu itu terhubung langsung ke ruang tengah, tapi ia belum ada niatan untuk menjejakkan kaki ke dalam.
Tiba-tiba saja hatinya ragu. Bukan karena ia tidak mau menemui Rachel atau tidak mau minta maaf, tapi karena gelombang perasaan bersalah yang tak henti-hentinya menghantam dadanya---barang sedetik pun---sebab perkataan Tiara sebelumnya.
Bagaimana pun, ucapan gadis itu ada benarnya. Kalimat demi kalimatnya berhasil memengaruhi sisi terapuh dari diri Argan. Meski setajam silet, ia tak menampik yang dilontarkan Tiara adalah benar.
"Kamu lupa kita pernah kssing saat status kamu udah jadi suami orang, Ar?"
"Kamu punya pilihan buat jujur, tapi malah bohong. Kamu punya pilihan untuk ga nyamperin aku tapi justru dateng apalagi ngerespons waktu aku cium kamu di rumah sakit."
Semuanya betul.
Walaupun ia sangat marah saat mendengarnya pertama kali, tapi kenyataan tetaplah kenyataan.
Argan tak kuasa menolak kebenaran, apalagi menolak kemungkinan; "Kalo nanti Rachel mutusin pisah dan cerai ...."
Argan refleks memejam. Itu kalimat paling mendominasi di dalam benaknya. Ia terus dihantui ketakutan kalau-kalau itu akan terj adi.
Lagi, Argan menarik napas berat dan mengembuskannya. Kepalanya pusing tujuh keliling. Kalau tahu begini jadinya ia bersumpah tidak akan mengedepankan sifat idealis dan altruismenya. Sayang, penyesalan selalu datang terlambat. Kini ia harus membayar kecerobohannya di masa silam.
Rasa bersalah dan penyesalan yang bertubi-tubi menyulap semangatnya untuk menemui Rachel menjadi ketakutan.
Sanking stres dan lelahnya, Argan sampai-sampai tidak sadar tertidur di dalam mobil.
Sepuluh.
Dua puluh.
Tiga puluh.
Bermenit-menit lamanya hingga matahari tenggelam di peraduan.
Argan baru tersentak ketika kaca mobil diketuk dari luar. Perlahan, ia membuka netranya dan mengangkat wajahnya dari stir. Sedari tadi ia tidur berbantalkan benda keras tersebut. Sejenak, ia mengucek-ngucek matanya, melenturkan lehernya, mengusap wajahnya, kemudian meregangkan tangannya ke depan. Setelahnya, ia menoleh ke sisi kanan.
Pada saat itulah, Argan sontak melebarkan telaga hitam miliknya. Itu Rachel! Mendapati sosok istrinya tepat di hadapannya membuat jantungnya bertalu-talu. Mereka hanya dipisahkan selapis kaca.
"Ar?"
Satu. Dua.
Empat.
Ketukan kelima membuyarkan lamunannya. Ia buru-buru membuka pintu mobil dan keluar.
"Ra."
"Kenapa enggak masuk?"
Argan tak menyahut. Matanya diangkat ragu menatap Rachel. Dari samar-samar sinar lentera jalan dan penerangan lampu teras, ia menemukan sesuatu yang lebih menarik atensinya. "Mata kamu kenapa?"
Rachel buru-buru menapis lengan Argan yang hendak meraih wajahnya. "Enggak apa-apa."
Laki-laki itu memangkas jarak di antara mereka. "Kenapa bisa kayak gini?"
"Bentar lagi juga sembuh."
Erangan Argan mengudara. "Ini pasti gara-gara tadi siang. Kamu ga berhenti nangis sampe akhirnya sebengkak ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...