Jika ada satu hal yang paling Argan sesali hari ini, maka hal itu adalah kenapa ia tidak menanyakan toko baju mana yang akan Rachel sambangi bersama Rio. Sejak perjalanan pulang kantor hingga saat ini ketika sedang mengecek proposal yang dikirimkan oleh manajer keuangan tadi siang, rasa kekhawatiran itu tak pernah lenyap dari benak Argan. Jangankan lenyap, terkikis sedikit saja tidak. Kecemasan akan keberadaan dan keselamatan Rachel terus menggerayangi pikirannya, meski ia sudah berusaha mengalihkannya ke pekerjaan.
Argan memijat pelipisnya, merasa risau sekaligus kesal dengan dirinya sendiri dan Rachel, serta Rio. Sudah berulang kali ia menghubungi ponsel gadis itu terhitung sejak pukul tujuh malam, tapi tak ada satu pun panggilan tersebut yang terhubung. Ponselnya mati. Ponsel Rio juga entah di mana laki-laki itu letakkan. Argan sudah menggempurnya dengan panggilan mungkin sampai berpuluh-puluh kali, tapi tak ada yang diangkat barang sekali saja.
Argan merasa sangat jengkel. Kalau saja ia tahu Rachel tak kunjung pulang sudah jam sepuluh malam begini, ia bersumpah tak akan mengizinkan gadis itu pergi. Sama sekali bukan masalah ia harus mengenakan kemeja biasa di resepsi anaknya pak Ruben, asal istrinya itu tidak membuatnya nyaris mati kesal dan gusar seperti ini.
Argan tidak tahu harus berbuat apa. Andai ia tahu ke mana mereka pergi, tanpa tedeng aling-aling Argan pasti akan langsung menyusul. Sayang, ia membuat kesalahan. Kesalahan yang mungkin tampak kecil, tapi berdampak besar pada ketenteraman psikologisnya.
Terakhir kali ia berkontak dengan Rachel, pada istirahat kantor sekitar pukul setengah satu siang. Rachel menanyakan apakah ia sudah makan atau belum, yang karena ia buru-buru menyelesaikan acara makannya karena dikejar tumpukan pekerjaan, Argan hanya membalas kalau ia sedang makan, tanpa menyinggung ke mana Rachel pergi. Sial. Kalau tahu begini jadinya, hal pertama yang akan Argan tanyakan yaitu "kamu beli bajunya di mana, Ra?".
Argan melirik ke samping, sebuah mug berisi cokelat panas yang sepuluh menit lalu ia seduh pun tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Biasanya, sekalut apapun, secangkir cokelat panas pasti sangat membantu. Tapi kali ini, minuman itu tak ada kontribusinya sama sekali dalam menurunkan tensi Argan. Dia tetap menghela napas panjang, dan gusar.
Argan menutup laptop dengan kasar, lalu menaruhnya asal di atas tempat tidur. Percuma saja menyalakan laptop dan mengecek pekerjaan, tapi tak pernah benar-benar berkonsentrasi untuk merampungkannya. Laki-laki bergelang tali hitam di pergelangan kanannya itu pun kemudian mengembuskan napas, satu-satunya hal yang dapat ia pikirkan setelah sekian lama hingga kepalanya seperti mau pecah yaitu Nathan. Mungkin dia tahu ke mana Rachel pergi.
Dengan cepat, Argan menyambar ponsel, mencari-cari nomor Nathan, dan langsung menempelkan ponsel itu di telinga begitu membuat panggilan. Tidak diangkat. Argan coba menghubungi sekali lagi, tidak diangkat juga. Argan dapat merasakan kepulan asap panas mulai berkobar di atas kepalanya. Ia menelepon untuk keenam kalinya, dan diangkat di nada sambung ketiga.
Syukurlah.
"Halo, Nat?"
"Ya? Kenapa, Gan?"
"Lo di mana? Rachel ada kasih tau lo kalo dia mau pergi abis kuliah gak?"
"Ada. Ini gue lagi bareng dia di mall. Kenapa emangnya?"
Deg.
Argan membulatkan matanya. Akhirnya petunjuk datang juga. "Mana dia? Tolong kasih hp lo ke dia. Gue mau ngomong."
Tiba-tiba terdengar suara riuh dan berisik dari ujung sana. Nathan tak langsung menyahut.
"Halo, Nat? Lo masih di sana? Tolong kasih Rachel sebentar dong hp lo, gue mau ngomong sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...