Hari baru, lembaran baru, semangat baru. Jangan lupa, juga senyuman baru yang cemerlang saat menyambut kicau burung di pagi hari. Yah ... orang pada umumnya memang akan merasa seperti itu; bergelora dan bersemangat, namun tidak bagi segelintir kalangan yang sedang dirundung nestapa layaknya Rachel Prillia Aletta.
Jangankan hari baru semangat baru, hari lamanya yang kelam saja masih menghantui seperti bayangan hitam yang tidak mau pergi.
Jangankan tersenyum di tengah senandung para burung, bibirnya saja sudah lupa bagaimana caranya melengkung keatas.
Walaupun ini sudah tiga hari sejak terjadinya malapetaka itu, tapi Rachel masih belum menunjukkan perkembangan apapun.
Dia masih sama kosongnya. Masih sama linglungnya.
Dia memang hidup. Paru-parunya terisi oksigen. Mulutnya melahap makanan. Tubuhnya sudah dibersihkan setelah mati-matian dipaksa Amanda, Rio dan Nia. Tapi hatinya ... semua orang tahu luluh lantak seperti habis diterjang tornado.
Tak ada yang dilakukannya selain merenung ataupun menangis. Bagaikan robot yang tak bosan-bosannya berdiri dan tak pernah kehabisan energi, dia juga urung berhenti memandangi pintu ruang ICU seolah-olah sosok yang ditunggu-tunggu akan segera muncul dari sana dan simsalabim, memeluknya seerat lem.
Damn!
Mustahil tapi masih dilakukan bagai pungguk merindukan bulan.
Setelah Argan dipindahkan ke ruang rawat intensif tersebut, dokter juga ada beberapa kali hilir mudik namun masih menggeleng ketika ditanya "apa ia sudah boleh menjenguk Argan". Perkataannya juga masih kurang lebih sama (Rachel sampai menghafalnya); "pasien kritis dan kami terus memantau kondisinya".
Kalau begitu lalu kapan?
Kapan dia bisa melihat Argan dalam jarak dekat? Kapan dia bisa menyentuh suaminya yang agaknya sudah bertahun-tahun tak ia sentuh?
Fyi, ini menyiksa lebih dari apapun. Sungguh.
"Ra."
"Hmm?"
Rachel hanya berdeham tanpa melihat siapa yang memanggilnya. Rio. Ya, itu pasti Rio. Siapa lagi pemilik suara berat yang langsung berani mendekapnya kalau bukan Rio? Selain Argan tentunya.
"Lo bengong mulu dari kemarin gue liat."
Rachel mengembuskan napas panjang. Wajahnya yang sebelumnya menatap lurus ke depan ditenggelamkan saat ia mengusapnya sekilas.
"Justru aneh kalo gue ga bengong, Bang."
Rio mengangguk. Sejenak, dia ikut menghela napas mendapati respons Rachel yang datar cenderung dingin. Kena imbasnya juga gue dari perasaan Rachel yang ga karuan~
"Oke. Gue ngerti. Tapi bukan itu yang sebenernya mau gue bilang. Maksudnya, lo kayaknya udah bisa tenangan dikit, deh. Operasi Argan lancar. Dia udah ditangani di salah satu rumah sakit terbaik, dokter terbaik dan fasilitas terba---"
"Tapi dia belom sadar juga. Apa gunanya semua yang terbaik kalo Argan ga bangun-bangun juga?"
Hmm.
Rio, Ardi dan Amanda sontak bertukar pandang mendengarnya. Ketus, judes. Gara-gara pawangnya tak ada tingkat sensitivitasnya pun jadi melambung.
"Sensi amat lo."
"Gue lagi sedih banget, Bang. Walaupun semua orang bilang bakal baik-baik aja tapi selama Argan belom sadar dan keluar dari masa kritisnya gue belom bisa tenang."
"Tapi gue ga mau lo egois sama diri sendiri. Lo harus sayang sama diri lo."
"Tapi gue ga bisa."
"Lo pasti bisa." Rio meremas pundak adiknya lembut. Dia mengeratkan rangkulannya sembari mengangkat dagu Rachel agar menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...