Bukan dering alarm, kicau burung atau pun silau mentari yang membangunkan Argan pagi ini. Tidak seperti biasa, ada suara lain yang tiba-tiba mengganggu tidurnya. Laki-laki itu tersentak kaget, mengerjap-ngerjapkan kedua netranya bingung. Dalam ketidakpastian sebab masih berada di awang-awang, ia memandangi langit-langit kamar sembari menajamkan indra pendengarannya. Bunyi apa itu?
Meski sulit, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Apa ini mimpi? Atau kenyataan?
Siapa yang muntah-muntah pagi-pagi begini?
Argan mengernyit. Selang beberapa menit, suara itu berangsur hilang.
Ah, mungkin hanya mimpi.
Bagai angin lalu, Argan mengabaikannya dan melanjutkan tidur. Kepalanya pusing. Tubuhnya serasa ingin rontok. Ia sangat lelah dan butuh waktu istirahat tambahan. Lagipula ia hanya berdua dengan Rachel di rumah ini. Tidak mungkin dia yang muntah hingga batuk-batuk seperti itu, kan?
Sepertinya saking lelahnya Argan sampai-sampai bermimpi buruk.
Namun dari panggilannya yang tak bersambut dan tangannya yang tak menggapai apa-apa selain guling saat meraba sisi tempat tidur, Argan meragukan asumsinya.
Rachel tidak ada.
Apa dia sudah ke dapur?
Matanya terbuka lagi. Atau jangan-jangan itu memang suara Rachel?
Jam berapa ini?
Delapan?
Tunggu, delapan?!
Kenapa Rachel tidak membangunkannya?!
Argan spontan bangun dan melompat turun. Tanpa membereskan kasur atau melipat selimut, dia melangkah lebar menuju kamar mandi. Ini sudah lewat jam masuk kantor! Rasa kantuk dan penat yang tadi menggerayanginya mendadak memuai entah kemana.
Bagaimana bisa ia bangun sesiang ini?
Ah.
Ketika seinci lagi hendak memutar kenop pintu, kepanikannya melambung tiga kali lebih tinggi. Matanya melebar. Suara yang sama. Jangan-jangan ...
Brak.
"Ra!"
Ternyata memang bukan mimpi.
Suara itu nyata.
Rachel berdiri membungkuk tepat di depan wastafel sembari menguras isi perutnya.
Sontak, Argan terbelalak. Tanpa tedeng aling-aling ia melesat masuk dan bantu memijat tengkuk sang istri.
"Kamu kenapa? Ada apa?" Jantung Argan berdegup kencang. Wajah kuyu sehabis bangun tidurnya seketika lenyap terganti kegusaran. Rachel menyangga rambutnya agar tidak terburai dengan satu tangan sementara tangan yang lain memegangi lehernya erat-erat.
"Sa ... kit."
"Kamu sakit? Kenapa bisa muntah?"
Erangan meluncur dari bibir Rachel. "Mungkin masuk angin."
"Ayo, duduk dulu. Aku ambilin minum." Selembut sutra, Argan membimbing Rachel keluar dan duduk di pinggiran kasur. Ia meraih segelas air di salah satu nakas, menuntun Rachel meminumnya sedikit-sedikit, lalu menggeletakkan gelas tersebut ke tempat semula.
"Kok bisa masuk angin? Kamu ga makan?"
Rachel tak menyahut dan memilih memijit-mijit pelipisnya yang bagai dirundung bandul. Tadi, baru saja duduk selepas bangun tidur, perutnya langsung bergolak seperti diaduk-aduk. Linier dengan perasaan mualnya, kepalanya pun berdenyut hingga membuatnya hoyong.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...