Hingga kemarin, tak ada yang lebih membahagiakan bagi Rachel Prillia Aletta selain hari pernikahannya. Tak ada yang lebih berarti dari saat ia menggandeng tangan Argan Giano Briaska di pelaminan empat bulan silam. Ketika itu, bibirnya tak henti-hentinya mengulas senyum, menggambarkan betapa girang hati dan pikirannya.
Baginya, tak ada yang bisa menyaingi hari pernikahan tersebut. Tak ada. Tak pernah ada, hingga ia berdiri di salah satu sudut halaman rumahnya sembari menatap dua insan di hadapannya.
Setelah berbulan-bulan, siapa sangka ternyata ada satu momen yang mampu menandingi kesenangannya kala itu.
Pernikahan Rio. Saudara kandung satu-satunya, dan satu-satunya orang yang hidup bersamanya sejak usianya dua belas tahun--setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan.
Rio lebih dari sekadar abang baginya. Dia saudara sekaligus orang tua yang mengayomi. Rachel selalu menjadi prioritasnya. Tak ada saingan. Dia princess kesayangan Rio, dan Rio adalah prince charming Rachel.
Mereka begitu dekat, bertaut dan memiliki ikatan emosional yang kuat.
Saat ini, ketika melihat betapa bahagia Rio bersama istrinya, hati Rachel spontan berdenyut. Kini Rio bukan lagi miliknya seorang. Dia sekarang memiliki wanita yang akan menemaninya mengarungi arus kehidupan. Hidupnya akan berubah, jauh lebih bermakna.
Tak pelak hal itu membuat Rachel menitikkan air mata. Tak pernah terbayangkan olehnya pernikahan Rio akan seemosional ini. Dia sangat senang (tentu saja), haru, namun sekaligus juga sedih di saat bersamaan. Seluruh kenangan bersama sang abang berputar di kepalanya. Masa-masa kecil mereka, fase remaja mereka, pertengkaran kecil mereka, momen usil mereka, seumur hidup Rachel tak akan melupakannya.
"Kamu nangis terus. Nanti diliat bang Rio, lho."
Usapan di pipinya menyadarkan Rachel dari alam lamunan. Matanya mengerjap, menangkap sosok laki-laki tengah tersenyum di hadapannya, menggantikan pemandangan sejoli yang sebelumnya memenuhi penglihatannya.
"Aku terharu, Ar. Bang Rio udah nikah. Rasanya cepet banget."
Argan mengulurkan tangan meraih wajah Rachel yang ditenggelamkan. "Perasaan kamu campur aduk, ya?"
Rachel mengangguk dalam kungkungan suaminya. "Iya. Rasanya kayak baru kemarin kami main bareng. Aku seneng banget, tapi sekaligus juga sedih."
"Sedih?"
Saat Argan memandangnya penuh tanya, Rachel justru mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Iya, sedih rasanya ngelepas bang Rio. Walaupun aku tau ini bakal terjadi, tapi tetep aja. Aku selalu sama-sama dia sejak kecil."
"Ra." Menyadari raut wajah Rachel memilu, Argan buru-buru mendekapnya erat. "Kamu gak ngelepas bang Rio. Dia tetap di sini sama kita."
"Aku tau, tapi ...."
"Bang Rio tetap bang Rio kita, Ra. Kamu bisa ketemu dia kapan pun yang kamu mau."
Belaian Argan membuat mata Rachel memejam. Sapuan itu hangat, lembut dan menenangkan. "Untung dia ga pindah. Aku jadi ga harus pisah sama bang Rio."
"Nah. Kita semua bakal bareng terus kayak sekarang. Jangan sedih, ya?"
Suara Argan terdengar nyaman dan teduh. Cara bicaranya halus, seolah benar-benar memahami emosi yang dirasakan Rachel.
"Iya. Mungkin aku kebawa perasaan aja karena bang Rio udah kayak orang tua buat aku. Di luar itu, aku jauh lebih seneng. Sama senengnya kayak hari pernikahan kita."
"Satu-satunya hal yang berubah cuma dia lebih lengkap, Ra. Dia jauh lebih bahagia dari sebelumnya."
Setelah menghapus air mata di balik leher Argan, pelan-pelan Rachel mengendurkan pelukan mereka. "Kamu bener. Itu yang paling bikin aku seneng. Bang Rio dapet pendamping yang aku yakin tepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...