Ketika pertama kali menginjakkan kaki di keramik putih itu, ada dua sisi kontras yang seketika mengerubungi hati laki-laki berkemeja formal tersebut. Helaan napas panjang nan berat, mengiringi matanya yang memejam dan tangannya yang tenggelam di saku celana.
Semakin dekat langkahnya mendorong pintu kaca di depannya, semakin kuat pula pergolakan batin yang dirasakannya.
Semalam, Argan tak bisa tidur gara-gara menimbang ulang keputusannya. Katakanlah sebelumnya dia gegabah, tapi semalam dia mengkaji dua kemungkinan; benar-benar mengunjungi Tiara, atau membatalkan janji untuk datang.
Sebagian dari dirinya mengatakan jangan datang sebab itu berarti melanggar janjinya sendiri untuk tidak terhubung dengan Tiara selama di sini, tapi sebagian yang lain menawarkan alternatif lebih logis; selagi mengunjungi Tiara, dia bisa memantau sudah sampai mana proses photoshoot tersebut. Itu juga bagian dari pekerjaan, kan?
Lagi pula, tidak mungkin baginya membatalkan janji. Kalau kemarin saja tidak mau makan dan minum obat, Argan tak tahu apa yang akan gadis itu lakukan kalau sampai tidak jadi datang. Apalagi kemarin Tiara sudah terisak-isak.
Bisa-bisa dia melakukan hal di luar dugaan yang justru menghambat proses photoshoot.
Agaknya, menjadi tidak tegas dan lebih mementingkan perusahaannya (atau sebenarnya mementingkan Tiara?) benar-benar menjadi pilihan Argan. Yah, meskipun hatinya masih bergejolak, tapi otaknya memberi sinyal kalau tidak apa-apa.
Argan menganggapnya sebagai urusan pekerjaan, bukan pribadi. Kalau begitu, tidak ada yang salah dengan kedatangannya. Dia masih dalam batas profesionalitas.
Entah itu benar, atau pembenaran.
"Argan! Ngapain di situ?"
Jeritan dan lambaian tangan sepuluh sentimeter dari hidungnya mengembalikan Argan ke realita. "Tiara."
Seulas senyum terbit di bibir gadis itu. "Akhirnya kamu dateng juga. Yuk, masuk, temenin aku."
"Ra."
"Kenapa?"
Argan menjatuhkan tatapan ke bawah. "Tangan kamu. Ga enak diliat orang." Genggaman Tiara amat kuat di pergelangannya. Dari wajahnya yang sedikit terkejut, gadis itu tampaknya lupa tempat.
"Maaf," cicitnya pelan. "Ya udah, yuk."
Langkah Argan mengekori jejak Tiara yang memasuki bangunan bercat abu-abu itu. Di dalam, banyak pasang mata yang langsung melirik ke arahnya. Beberapa dari mereka melempar senyum, menyapa, atau menampilkan ekspresi kaget lantaran sang bos menguntit si model proyek.
"Tadi ketemu di depan. Saya sekalian ikut." Argan buru-buru menghapus tanda tanya di kepala karyawannya sebelum berspekulasi yang tidak-tidak.
"Oh, iya, Pak." Laki-laki berkulit sawo itu tersenyum dan mendekat. "Tiara, bentar lagi mulai sesi. Kamu harus siap-siap."
"Gak bisa diundur bentar lagi? Masa aku langsung ninggalin Argan?"
Si karyawan sontak menatap Tiara bingung, sementara Argan menelan saliva mendengar spontanitas gadis itu.
"Emm, maksud aku ... kan ga enak ngebiarin pak Argan gitu aja. Beliau baru dateng, masa ga sopan langsung ninggalin."
Argan ragu-ragu menatap dua orang di depannya. "Gak apa-apa. Saya mau ngecek keadaan aja. Kamu lanjutin kerjaan kamu."
"Tapi Bapak nemenin, kan?"
Bagai ada batu yang menohok, Argan mendadak sulit bernapas. Dia tak berani menatap si kulit sawo yang pasti sudah memandang mereka terheran-heran. Refleks Tiara benar-benar menjerumuskan mereka ke lembah pergosipan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN
RomanceArgan dan Rachel saling mencintai, sejak pertama kali mereka duduk di bangku SMA hingga sekarang setelah menikah. Rasa itu masih sama. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan. Argan tidak menyadari, bahwa ia terus melakukan denial pada dirinya send...