BAB 32 : PILIHAN

910 24 0
                                    

"Kata Rio, undangannya dominasi warna pink, terus ada bunga buat ornamen, tapi ... bunga yang cocok bunga apa, ya?" Liam melepas pandangan dari layar di hadapannya, lalu berpaling ke luar jendela demi merehatkan indra penglihatannya. Sejulur tangannya menggapai cangkir kopi di sisi kanan, kemudian dibawa ke permukaan bibir untuk disesap.

Sejak sejam terakhir, dia duduk di depan laptop sembari menggarap desain undangan pernikahan Rio dan Nia. Hari ini, dia sengaja menyetel jadwal agar bisa merampungkan desain tersebut. Rio memang tidak memaksa agar cepat selesai karena masih ada waktu, tapi dari pada menyelesaikan sesuai tenggat, tidak ada salahnya menuntaskan lebih cepat untuk memberi pelayanan ekstra, kan? Apalagi itu untuk kenalan sendiri.

Sepasang mata Liam kembali meninjau desainnya setelah beberapa menit. Belum sempurna. Masih banyak detail yang harus ditambah di sana sini. Kacamata tebal yang disangkutkan di batang hidungnya sesekali melandai saat dia terlalu fokus, namun dengan segera ia angkat kembali ke posisi semula.

"Mawar kali, ya? Tapi kayaknya udah biasa banget."

Cebikan bibirnya mengiringi punggungnya yang terempas ke sandaran kursi. "Azalea? Tulip? Lily?" Napasnya berembus berat. "Telpon aja deh biar jelas." Kursi terdorong ke belakang saat dia bangkit berdiri. Ponselnya di-charge agak jauh, membuatnya harus berjalan demi meraih benda pipih tersebut.

Ketika selangkah lagi jarinya hendak melakukan panggilan ke nomor Rio, sebuah panggilan lain tiba-tiba menyapa ponselnya. Dia segera mengusap layar dan menempelkannya di telinga. "Halo, Sat?"

"Halo, Am. Gue ganggu gak?"

Liam melirik meja kerjanya. "Emm ... gue lagi ngerjain desain, sih. Kenapa?"

"Eh, sorry, gue gak tau."

"Santai aja. Ada apa?"

Sejenak, tak ada suara apa-apa dari ujung sana. "Gue mau minta tolong, Am."

"Tolong apa? Sekarang?"

"Enggak. Gue mau minta tolong lo nemenin gue ke Surabaya buat ngambil data penelitian. Kebetulan gue ambil objek di sana. Males banget pergi sendiri. Mau gak?"

"Kapan? Berapa lama?" Dalam hati, Liam sudah menyiapkan jawaban. Dia tak yakin bisa membantu, tapi let's see jawaban Satya.

"Besok pagi. Belom tau berapa lama, soalnya liat kondisi. Kalo udah kelar bisa langsung balik. Kalo masih ada yang perlu, mungkin sekitar 3 atau 4 hari."

Keputusannya tak berubah. Mana mungkin dia pergi saat undangan pernikahan Rio belum selesai? "Kayaknya gue gak bisa, Sat. Kerjaan belom kelar. Coba nanya Dito atau Andi, kali mereka bisa."

"Yah ...." Suara Satya terdengar sayup ketika dia mengeluh kecewa. "Mereka ga bisa, udah gue tanya tadi. Ya udah, ga apa-apa, gue pergi sendiri aja. Makasih, ya, Am."

"Maaf ya, Sat, gue beneran gak mungkin ninggalin kerjaan ini, takut ga siap. Masih banyak yang harus dikejer soalnya."

"Ga apa-apa, gue ngerti. Lanjut aja. Gue tutup telponnya, ya? Mau siap-siap buat besok."

"I---eh, Sat, bentar!" Mata Liam sontak melebar. "Lo bilang di mana tadi ngambil datanya?"

Di seberang, Satya buru-buru menjauhkan ponsel ketika telinganya diinvasi gelombang bernada tinggi. "Ngapain teriak, sih? Budek nih gue denger lengkingan lo."

Seulas senyum terbit di bibir Liam. "Maaf, maaf. Jadi, di mana lo ngambil datanya?"

Satya bersungut-sungut. "Surabaya. Kenapa? Lo berubah pikiran?"

BETWEEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang