11. what if

31 7 0
                                    

"Astaga." Alana terkejut bukan main ketika memasuki kamarnya dan mendapatinya telah berantakan.

Bella dimeja belajar sayap kanan kamar, yang memang diberikan khusus untuknya, memutar kursinya. Layar komputer nya menyala, menayangkan proposal yang sedang digarapnya.

"Lo, utang penjelasan sama gue." Ujarnya sembari menudingkan biskuit stick kearah Alana yang sedang melepas sepatunya.

"Penjelasan yang mana? Gue jalan sama Kafka?" Alana mendekati Bella, duduk ditepi ranjang.

"Itu juga termasuk. Tapi yang utama, lo kenapa kemarin harus terapi lagi?"

"Mama ngomong sama lo?"

"Menurut lo, Tante Kusma bakalan diem aja gitu?"

Alana menghela nafas pendek. Mamanya tak mungkin tidak bercerita tentang semuanya dengan Bella. Persahabatan Alana dan Bella memang sudah seperti saudara kandung.

"Gue ketemu orang waktu dipameran. Temen nya abangnya Hanaf."

Bella menaikkan satu alisnya sembari mengunyah biskuit. "Who?"

"Sebenernya gue sendiri nggak tau pengaruhnya dia apa. Tapi begitu gue pulang, sakit kepala gue kambuh. Dan bahkan rasanya lebih sakit dari dulu."

"Iyaaa, who?"

Alana menatap Bella lurus-lurus. "Jeffrey."

Dan Bella, membulatkan matanya lebar-lebar.

"Jeffrey?"

"Lo kenal?"

Bella berdeham. Mendadak saja tenggorokannya terasa begitu kering. "Enggak. Dia bilang dia kenal sama lo?"

"Gue nebak dia kakak kelas kita dulu. Tapi dia bilangnya kalo dia sekomplek sama gue sekarang."

"Kakak kelas?"

Alana mengangguk. "Iya, lo kenal?"

"Maybe dulu iya, lupa gue." Bella berhehe ria sembari memutar kursinya kembali menghadap layar komputer.

Alana menghempaskan tubuhnya keatas ranjang. Menerawang langit-langit kamar yang kosong.

"Terus, lo tadi jalan sama Kafka?"

"Iya."

"Diajak kemana?"

"Taman tepi kota. Bagus ternyata. Dan gue rasa itu pertama kali gue kesana."

"Gue suka sama lo."

Bella menelan ludahnya cepat-cepat begitu memori itu menghampirinya. Sesuatu yang semestinya tak perlu ia ingat kembali.

"Dia ngomong apaan sama lo?"

"Banyak. Dia ganteng ya, apalagi waktu rambutnya kena angin. Gue kaya nya suka deh sama dia."

Bugh!

Sebuah boneka yang tadinya berada dalam dekapan Bella kini telah berada diatas Alana. Menimpanya sebab dilemparkan oleh Bella.

"Sarap."

"Ih, temen nya jatuh cinta kok dilarang."

"Bukan ngelarang. Tapi mewaspadai."

"Sama aja lo kek Mama."

Bella terdiam. Lantas segera mengambil ponselnya yang tergeletak disamping gelas minumannya.

■ ■ ■

Jauhi Alana.

Kafka membaca pesan itu sekilas. Lantas menaruh kembali ponselnya keatas nakas. Ia menatap langit-langit kamar.

walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang