Jeffrey membuka pelan pintu besar didepannya. Remang, dan seperti tidak ada harapan didalam ruangan besar ini. Ia melangkah masuk dengan pelan. Lantas ikut terduduk disamping ranjang besar yang berada dikamar ini.
Diatas lantai yang dingin karena tak pernah terkena sinar matahari, ia duduk. Disamping seseorang yang saat ini sebenarnya benar-benar sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.
"Gue udah bilang-"
"Nyokap lo bersedia buka kasus penyidikannya lagi."
Kafka tertawa sinis. "Nyokap? Seriusan nyokap gue? Barangkali lo salah liat, Jeff."
"Ck, giliran di iyain malah gini kan lo."
"Udah nggak perlu, dia-" Kafka menunduk dalam, menggantung ucapannya. Terlalu berat untuk sebatas mengenang. Demi Tuhan, sepayah itu ia dengan kenangan.
"Dia kenapa?"
"Lo bener. Iya lo bener."
Jeffrey menghela nafas panjang. Menyiapkan beberapa kalimat yang sekiranya ampuh untuk membawa Kafka kembali.
"Gue nggak akan nyalahin lo. Tapi kalo lo emang nggak mau nyoba buat move on dan masih mau nyoba buat merjuangin, kali ini gue dukung lo."
Jeffrey merangkul pundak Kafka. Menepuk-nepuknya untuk menenangkan. Sejujurnya Jefrrey sendiri tidak paham dibagian mana nya yang dimaksudkan benar oleh Kafka. Ia memilih untuk tidak membahas hal itu. Tak ingin membuat Kafka semakin menderita karena dirinya sendiri.
Turntable diatas meja terus mengalunkan lagu yang bernada sumbang. Kafka pun tidak berniat untuk sekadar membetulkan kembali posisinya agar lagu yang diputar lebih enak didengar.
Ia lebih memilih untuk menyembunyikan dirinya disamping ranjang. Bergelut dengan dirinya sendiri setelah Jeffrey berpamitan pulang karena akan segera melaksakan ujian blok nya.
Lama Kafka merenung disana. Dan ini semua bukan kali pertamanya. Tempo hari, Kafka pernah mengalami hal serupa karena alasan yang sama pula. Sebuah masa lalu.
Kafka berdiri berhadapan dengan seseorang di lorong dingin rumah sakit. Bibirnya tetap tersenyum manis meskipun jantungnya terasa telah ditikam sedari tadi.
"K-kamu lupa siapa aku?" Ia menatap sepasang mata dihadapannya. Sorot matanya sendu, menyiratkan luka dan kesedihan dalam satu waktu. Semua orang pasti tau jika hatinya terluka. Namun tidak ada yang peduli.
Pemilik sepasang mata indah yang tengah berdiri dihadapannya, yang beberapa bulan terakhir terpejam diruangan icu itu menggeleng.
"Kamu siapa?" Dan dunia nya hancur pada detik itu juga.
Ia tidak menangis. Ia hanya tersenyum tipis menyembunyikan seluruh hatinya yang tak lagi berbentuk sempurna. Kafka tersenyum, namun terlihat sangat menyedihkan. Semua orang mengasihaninya dan ia benci itu.
"Penunggu pasien kamar sebelah. Saya permisi sebentar." Jawab nya, seraya melangkah melalui orang itu. Menuju kemana saja. Ia bukan penunggu pasien kamar manapun. Tujuannya kerumah sakit untuk bertemu dengannya. Dan justru berakhir dengan nestapa.
"Gue sepayah ini cuman buat inget sesuatu tentang lo." Ia tertawa miris diakhir kalimatnya. Mengingat betapa hancurnya ia pada masa itu. Bahkan hingga rela melukai dirinya sendiri.
Mungkin memang benar, mengenai semesta sejahat ini dengan takdir kehidupannya. Semuanya harus terulang untuk kedua kalinya. Tak ada yang tersisa dari kehancuran dirinya.
Pintu kamar nya terketuk, Kafka mendongak menatap langit-langit kamar.
"Kafka, makan malam dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfic"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...