Jika aku adalah magnet,
Maka ia adalah titik pusat gravitasinya.Menarikku dengan begitu kuat.
Lantas kemudian,
Membiarkanku bersimpuh dan mendamba.Pada sosoknya yang kadangkala tak nyata.
■ ■ ■
Aku seperti menemukan sebuah kepingan diriku yang lalu.
Seperti menemukan sebuah oase yang telah lama tandus.Aku seperti kembali, menyisihkan waktu menikmati ingatan.
Dan membungkusnya sedikit untuk buah tangan pada kenangan.Aku, dan dirinya yang selalu penuh kejutan.
■ ■ ■
Alana duduk ditepi lapangan basket seorang diri. Sembari memangku laptop milik Reira yang ia pinjam sebelum kelas berakhir tadi. Layar laptop itu menayangkan lembar pertanggung jawaban sekretaris osis. Ia tak pernah berkecimpung dalam osis SMA sama sekali. Dan segala pengalamannya menjadi sekretaris PMR kala SMP tak membantunya sedikitpun karena ingatannya yang hilang belum sepenuhnya kembali.
Tetapi dengan memperhatikan Kafka bermain basket dilapangan, ia sepeti mendapat sumber kekuatannya sendiri. Matanya tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik Kafka. Bahkan hingga sebuah lekukan tajam alis Kafka sebab silau matahari.
Tuhan begitu sempurna menciptakan sosoknya.
"Ganteng nya pacar aku nih."
Suara asing yang mirip dengan suaranya kembali terngiang di telinga Alana. Gadis itu menggeleng cepat, mengahalau suara aneh lainnya kembali bermunculan.
"Siapapun lo, Kaf. Makasih udah ada buat gue." Bisiknya pelan, hanya dirinya sendiri yang mampu mendengar.
"Alana. Masih lama ngerjainnya?"
Alana mengerjap. "Enggak. Gue selesain dirumah aja sisanya. Lo, udahan main basketnya?"
"Kalo lo udah selesai. Sini, temenin gue. Gue tau lo pasti nggak bisa basket."
"Ih, sembarangan banget ngomongnya." Sahut Alana, tak terima.
Kafka tertawa. "Makanya sini, gue ajarin. Besok katanya olahraga kelas lo sama kelas gue jadi satu. Materinya basket, lo mau nilai lo jelek terus di mapel olahraga?"
Yashhh, Kafka. Satu langkah lebih maju.
"Kalo gue bisa, jangan nangis besok kalo nilai lo lebih jelek dari gue."
Kafka tersenyum miring. "Liat aja nanti."
Dan Alana pun akhirnya berjalan kelapangan. Mengambil bola yang diberikan Kafka. Ia suka basket. Suka, bukan bisa. Alana suka ketika melihat pertandingan basket, tapi selalu mendapatkan nilai yang jelek saat materi basket dalam mapel olahraga.
"Masukin bolanya ke ring coba."
Alana terlihat mencoba fokus untuk memasukkan bola kedalam ring. Namun Kafka justru tertawa.
"Nervous ya lo?"
Iya! Puas lo?!
Alana benci mengakuinya namun apa yang Kafka tanyakan memang benar adanya. Tangannya tremor panas dingin, sama seperti dua tahun yang lalu. Hal yang tak pernah mampu ia kontrol. Tidak, Alana tidak sakit apapun. Hanya seperti respon tubuh yang mendadak.
"Kalem aja, Lan. Kalo emang nggak bisa nanti gue ajarin."
Setelah itu Alana berulang kali mencoba memasukkan bola kedalam ring. Dan berulang kali pula bola itu meleset. Tak pernah masuk kedalam ring sasaran. Hingga akhirnya ia melemparkan bola itu kearah Kafka dengan sedikit kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfic"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...