• Satu tahun kemudian.
Kenangan itu telah usai. Kafka berhasil menyelesaikan kisahnya dengan begitu epik.
Segala sesuatu yang sudah berakhir terkadang bukan berarti tuntas. Beberapa bagian dalam hidup memang seringkali memiliki kisah yang tak pernah selesai dengan sempurna.
Dan Kafka, kini mau tak mau harus mencoba untuk merelakan. Bagian terpenting dari mengenang.
Satu tahun nya di San francisco ia habiskan dengan belajar dan terus belajar. Melupakan segala sesuatu yang telah terjadi dimasa lalu nya dengan belajar.
Entah belajar untuk sekolah dan jenjang selanjutnya, ataupun untuk kemudian memegang perusahaan papanya. Juga, belajar untuk merelakan.
Kini, dengan menyiapkan seluruh hati nya ia akhirnya mencoba untuk pulang. Ke tempat dimana pertama kali ia dilahirkan, ke tempat dimana seluruh traumanya bermula dan berasal. Ke tempat, dimana ia akan tetap kembali sejauh apapun kakinya melangkah.
Tempat yang selalu disebut orang-orang dengan nama rumah.
“Ada undangan reuni buat kamu. Mau dateng gak?” Tante Karin bertanya dari kursi kemudi.
“Reuni apa?” Tanyanya.
“Sekolah lama kamu sebelum pindah.”
Kafka menghela nafas panjang. Sekolah itu tempat pertama kali ia bertemu dengan Alana-nya.
“Kok aku masih diundang?”
“Tanya Tante? Ya gak tau dong, tanya Haidar coba. Temenmu itu yang ngundang.”
“Tante masih inget Haidar?”
“Siapa yang gak inget dia?”
Ya benar juga sih. Haidar terlalu banyak tingkah. Jadi akan mudah bagi siapapun untuk mengingatnya.
“Dimana?”
“Sekolah lama kamu.”
Kafka hanya mengangguk sebagai balasan. Lantas menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi mobil. Semoga, semoga saja tidak terjadi ketidak sengajaan, apapun itu.
___
Acara itu cukup meriah. Banyak orang yang masih mengingat Kafka ternyata. Masih menyapa dengan akrab, dan masih mengerling genit padanya. Yang membuat cowok itu terkadang bergidik ngeri.
“Dar.” Kafka tiba disebuah meja yang terletak diujung. Tidak jauh dari panggung, tidak jauh dari pintu keluar, tidak terlalu ditengah, namun tidak terlalu terpojok. Posisi yang pas.
Beberapa orang yang berada disana menoleh dan kemudian tersenyum lebar, senang menyambutnya.
“Wuoh, dateng juga bos besarnya.” Seru Rendi, si mantan ketua osis.
“Kaf, wuih bro. Gue kira gak bakalan dateng.” Haidar berdiri, lantas bersalaman dan berhigh five dengannya.
Haidar kemudian merangkul Kafka, mengajak cowok itu untuk duduk dikursi yang ada disana.
Kafka tak lupa menyapa dua orang lainnya. Yoga dan Saka. Mereka dulu satu kelas, dan seringkali bersama setiap ada tugas kelompok.
“Gue gak nyangka banget ternyata lo di San francisco. Gue kira ngilang kenapa gitu kan lo, mendadak pindah tanpa kabar.” Rendi menepuk pundak Kafka. Mereka kini berdiri didepan panggung karena acara inti akan segera dimulai.
Mereka bertiga, memang tidak ada yang tau alasan pasti Kafka pindah. Banyak desas-desus yang beredar. Entah Kafka yang sibuk dengan perusahaan, mengingat dia ahli waris tunggal. Juga gosip jika dirinya ikut dalam terapi penyembuhan Alana.
Tak ada yang tau sama sekali jika dia menghilang karena traumanya. Bahkan cukup lama ia memilih untuk homeschooling dengan Jeffrey. Sebelum akhirnya menerima bujukan Jeffrey dan masuk disekolah yang sama dengan Alana.
“Terus, lo tinggal sama siapa disana? Sendirian?” Kafka menoleh kearah Yoga disamping Rendi.
“Enggaklah, sama Krystal sodaranya Jeffrey.”
“Oh, gue tau. Dulu alumni sini juga katanya.” Saka menyahut.
Kafka tersenyum. “Nah, itu.”
“Eh, Kafka? Kafka bukan sih?” Yeri, yang baru saja lewat setelah turun dari panggung berhenti sejenak dihadapannya.
“Iya, ini gue.”
Yeri tertawa. Anak ini masih sama menyebalkannya.
“Lama gak ketemu, pangling gue. Ada bau bau jadi bos besar nih.”
Kafka balas tertawa. “Apaan deh.”
“Yaudah, duluan ya. Oiya, kalo lo kepingin nyumbang lagu boleh banget loh. Nanti tinggal bilang ke orang di backstage aja suruhan Yeri gitu. Pasti boleh.”
“Yee, itu sih mau lo, Yer.” Celetuk Haidar.
Yeri menyumbingkan bibirnya. “Sewot lo. Dah ah, bye.”Gadis itu kemudian berlalu begitu saja dan bergabung dengan beberapa gadis yang berada di meja seberang meja utama. Dengan beberapa gadis, yang salah satunya menarik perhatian Kafka.
Gadis dengan gaun midnight blue nya. Yang terlihat begitu kalem dan juga mengintimidasi dalam satu waktu. Riasannya sederhana, namun bibir merahnya mampu membuat siapapun akan terdiktrasi begitu saja.
Detik berikutnya, gadis itu menoleh. Dan mata mereka bertemu secara tidak sengaja. Terlihat dengan jelas keterkejutan diwajah cantik itu. Berbanding terbalik dengan Kafka yang masih berekspresi netral.
Tanpa seorang pun tau, semenggila apa detak jantungnya saat ini.
Kim Lana datang?
Gadisnya, gadisnya satu tahun yang lalu.
“Kafka?” Bibir merah itu bergerak tanpa suara.
Dan Kafka hanya mampu menunduk menyapa sekilas lantas mengalihkan pandangannya demi menghindari tatapan Alana yang kentara dengan luka.
Hai, Lan. Apa kabar?
■ ■ ■
Hohoho. Apa ini???
Ehehehee, iseng aja gitu yorobun. Enaknya bikin sequel or exchap?? Tell me gaisss.
Thankyouu.
Babay~~
Aha, jangan lupa jaga kesehatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfiction"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...