Kafka masih berdiri seorang diri didepan sebuah nisan dingin yang masih baru. Baru beberapa menit yang lalu pula orang-orang satu persatu mulai meninggalkan tempat ini.
Ia menutupkan tudung hoodie dikepalanya. Menyembunyikan wajahnya dibalik masker. Kedua telapak tangannya dingin. Dan kakinya mematung, sulit diajak untuk segera beranjak.
"Kamu pasti lupa, kalau kamu usia lima tahun dulu senang sekali digendong nenek." Kakek tertawa, matanya menerawang kejadian dua belas tahun yang lalu.
Pertemuan pertamanya dengan Kafka kecil. Si anak lima tahun, cucu teman baiknya yang begitu menggemaskan. Menepis bahwa sebenarnya dia bukan cucu kandung. Tapi mendiang Kakek Kafka tak pernah sedikitpun mengurangi perhatiannya untuk Kafka.
"Tapi kakek nggak akan pernah lupa, Kaf. Terimakasih sudah mau datang kembali. Kakek pikir kamu lupa setelah kematian kakekmu dulu."
Kafka tersenyum penuh arti. "Enggak mungkin Kafka lupa sama kakek."
Kakek terkekeh pelan. Kembali melanjutkan ucapannya. "Kakekmu dulu orang yang sangat baik, dia mau berteman dengan siapapun meskipun dia salah satu putra konglomerat. Kamu tau? Kakekmu itu tak pernah gengsi meskipun makan ketoprak dipinggir jalan loh."
"Ketoprak enggak dijual direstoran, kek." Kafka tersenyum, membalasnya dengan bercanda.
Kakek ikutan tertawa. Benar juga sih.
Bayangan tawa khas kakek terngiang-ngiang ditelinga Kafka. Harus secepat itukah semuanya berlalu? Tapi ini terlalu mendadak. Kafka tak pernah siap.
Orang-orang disekitarnya perlahan mulai meninggalkannya. Papanya, Mamanya, Kakeknya, dan, gadisnya. Ah, tentang gadisnya sepertinya ia yang akan meninggalkan nantinya.
"Nak," Kafka menoleh kesamping begitu seseorang menyentuh lengannya.
Seorang ibu-ibu yang sekiranya berusia lima puluh tahunan berdiri beberapa langkah disampingnya. Ditemani seorang wanita yang mungkin berusia tiga puluh tahunan. Mata mereka sembab. Seperti sisa menangis.
"Kamu Kafka, kan?"
Kafka yang semula terdiam, mengangguk sebagai jawaban.
"Terimakasih. Terimakasih sudah mau menemani kakek belakangan ini. Maaf karena merepotkan kamu, kakek pasti banyak merepotkan."
Kafka masih terdiam. Bingung. Mereka siapa?
"Begini nak, kami keluarga Kakek. Ibu saya ini adik perempuannya kakek. Kakek selalu cerita banyak tentang kamu. Kami bukan nggak peduli dengan mendiang, nak. Tapi kakek selalu menolak kalau mau diajak tinggal bersama kami. Kamu dan anak perempuan, namanya Alana kalau nggak salah. Kakek selalu mau ketemu sama kalian. Makanya kakek nolak kalau mau diajak tinggal sama kami. Jadi, terimakasih banyak karena sudah mau menemani kakek. Juga maaf karena banyak merepotkan kamu, nak."
Kafka perlahan tersenyum ketika wanita berusia tiga puluh tahunan tadi menjelaskan.
"Aaa, saya nggak terepotkan kok, Tante."
"Kami nggak bisa balas dengan apa-apa. Tapi semoga tuhan selalu memberkati kamu, anak baik. Terimakasih banyak."
Kafka mengangguk. "Aamiin, terimakasih kembali doanya bu."
Setelah kedua wanita tadi berpamitan. Tak selang lama Kafka akhirnya ikut beranjak meninggalkan tanah pemakaman. Dengan langkah yang penuh keraguan, lagi.
■ ■ ■
Kafka duduk seorang diri disamping ranjangnya. Membiarkan tirai kamarnya tetap tertutup dan menyisakan remang diruangan itu.
Musik diturntable miliknya mengalun pelan. Hampir tak terdengar, karena hening lebih mendominasi pikirannya saat ini.
Tidak, ia tidak menangis. Hanya sedikit, mendadak merasakan hampa. Sedikit bertanya-tanya apa yang perlu dilakukannya setelah ini. Karena untuk apa dan siapa, tak ada lagi seseorang yang bertahan disampingnya.
Ah, mungkin untuk Tante Yuna dan Tante Karin yang sudah direpotkannya.
Kafka terbuyarkan dari lamunannya begitu pintu kamarnya diketuk pelan. Biasanya jika itu Jeffrey cowok itu akan langsung masuk tanpa permisi. Dan jika Tante Karin, biasanya akan mengiriminya pesan.
Ia menyandarkan kepalanya pada sisi ranjang. Lantas tertawa kecil, bahkan Mamanya tidak datang. Sebatas bertanya apakah dia baik-baik saja pun tidak. Wah, sungguh.
"Kafka," suara Tante Yuna. Kafka menanti sesaat sebelum akhirnya beranjak dengan berat hati.
Ia membuka pintu kamarnya, ada Tante Yuna didepan pintu. Juga Alana. Berdiri disamping Tante Yuna dengan raut khawatir.
"Dia udah tiga jam dibawah sana. Nggak baik, Kaf. Tante tinggal dulu."
Kafka hanya menghela nafas panjang. Setelah Tante Yuna meninggalkan mereka, ia menarik gadisnya masuk kedalam kamarnya. Dan lantas kembali menutup pintu.
Alana sempat berjengit kaget karena Kafka yang menutup pintu dengan kasar.
"Kemarin kamu mendadak pulang dan hari ini kamu nggak berangkat sekolah. Kenapa nggak bilang sama aku kalo Kakek meninggal, Kaf?"
Alana hampir menangis. Kepalang kesal dan juga menangisi kakek. Matanya merah juga sembab. Gadis itu pasti sudah menangis semalaman.
"Buat apa?"
Alisnya bertaut. "Buat apa? Kamu tanya buat apa? Aku pacar kamu, aku berhak tau apa yang jadi beban kamu, Kaf. Dan Kakek, aku berhak tau tentang keadaan kakek."
Gadis itu menyentak. Oh ayolah. Ada apa dengan Kafka?
"Kakek udah nggak ada. Udah nggak ada lagi yang perlu dikabarin ke kamu."
"Setidaknya kamu kasih tau aku. Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu banyak ngehindari aku, kamu bahkan nggak buka pesan yang aku kirim."
Inikah yang dikatakan dua kepribadian itu? Kafka benar-benar berubah. Jauh berbanding terbalik dari Kafka yang selalu hangat dan penuh perhatian. Atau, ini benar Kafka atau justru Kevin?
"Kenapa?" Alana mendongak. Menatap mata Kafka yang menatapnya penuh selidik.
"Hm?"
"Kenapa ragu gitu?"
Gadis itu segera menggeleng. "Ragu?"
"Kamu, pikiran sama hati kamu lagi nggak singkron kan?"
"Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ragu sama apapun."
Kafka tersenyum. Setelah itu berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil sebuah kotak kecil diatas meja. Mengangsurkannya kearah Alana.
"Kamu simpen, kalau suatu saat kamu udah inget semuanya, dateng ke aku. Aku bakalan selalu ada."
Alana menerima kotak itu dengan ragu. "Dateng ke kamu? Maksud kamu?"
Kafka tidak menjawab apapun. Hanya menarik Alana menuju pintu, mendorong pelan gadis itu supaya keluar dari kamarnya dan lantas kembali menutup pintu. Bahkan menguncinya.
Bodoh. Benar-benar bodoh. Seharusnya, ia tak perlu pernah kembali.
"Kafka! Kafka, buka pintunya!"
Ia terduduk didepan pintu. Membiarkan Alana meneriakinya dari luar kamar. Semua lebih baik selesai disini. Bella benar, kehadiran Kafka kembali dihidup Alana hanya membuat gadis itu semakin menderita.
■ ■ ■
Yorobunnnn.
Ai tak tau mau dibawa kemana ini cerita 😭😭😭😭
Maaf sekali kalau semakin lama semakiin tidak jelas macam ni.
Beneran mau ending kok ini. Serius.
Happy reading yorobunnn.
Babay~~
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfiction"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...