Kafka tiba ditaman komplek Alana benar-benar tepat sepuluh menit kemudian. Tetapi Alana sudah duduk disalah satu bangku taman, menenteng paper bag yang berisi jaket dan seragam osis Kafka.
"Nunggu lama, ya?" Alana beranjak dari duduknya. Menggeleng dengan senyuman manis.
"Enggak, gue baru juga sampe kok. Ini." Ia mengangsurkan paper bag itu pada Kafka.
"Makasih udah di laundry." Ujar Kafka kalem.
Alana tersenyum lebar. "Duduk situ yuk."
Kafka mengiyakan ajakan Alana. Lantas keduanya duduk dibangku taman komplek yang dingin. Sedingin tangan Alana yang mendadak kumat tremor. Berada disamping Kafka memang tidak baik untuk kesehatan jantungnya sebab berdegub terlalu kencang.
"Oiya, katanya sodara lo dikomplek sini. Siapa emang? Barangkali gue kenal."
Pertanyaan itu sedikit mengejutkan untuk Kafka. "Ah iya, itu yang rumahnya selang dua rumah setelah lapangan tenis."
"Selang dua rumah?" Alana memastikan.
"Jeffrey, kalo lo kenal."
"Oh, lo sodaraan sama Jeffrey?"
"Lo kenal?"
"Kata Bella dia kakak kelas gue dulu."
Dahi Kafka berkerut. "Kata Bella?"
"Iya. G-gue dulu sempet lupa ingatan gitu." Ujar Alana canggung.
Kafka hanya beroh panjang sebagai jawaban. Tak menyangka jika gadisnya akan mengungkapkan hal itu.
"Buat acara akhir tahun, lo udah mutusin mau nampilin apa?"
"Masih agak bingung sih. Tapi yang pasti ga jauh-jauh dari musik. Lo, nggak ada niatan mau ikut tampil?"
"Enggak deh. Suara gue terlalu merdu buat ditampilin."
"Loh, malah bagus dong." Kafka menjawab pura-pura tak pernah mendengar suara Alana ketika tengah bernyanyi. Ah, ia rindu. Sungguh.
"Merusak dunia tau. Bukan merdu bagus." Alana memberengutkan bibirnya. Sangat menggemaskan.
"Padahal gue niatan ngajak lo collab loh."
"Jangan deh, ntar malah hancur penampilan lo."
Kafka tertawa. Ia terlalu senang. Alana banyak membuka obrolan malam ini. Juga, sedikit memberikan celah pada Kafka untuk mengetahui segala tentang dirinya meskipun Kafka sudah mengetahui semuanya.
"Udah malem. Gue anter lo balik ya." Ujar Kafka.
"Rumah gue cuman situ, Kaf."
"Sekalian sama gue. Searah kok." Akhirnya Alana menurut. Ikut menaiki motor Kafka dan menuju rumahnya. Pertanyaan yang menggumul didalam benaknya disimpannya rapat-rapat. Biarkan waktu yang pada akhirnya akan menjawab segalanya.
■ ■ ■
Jeffrey memetik gitar akustik nya seorang diri. Berulang kali mencoret tulisan pada kertas dihadapannya. Ia berniat ingin menulis sebuah lagu. Untuk dirinya sendiri, juga untuk siapapun yang nantinya membutuhkan. Biasanya Kafka akan membantunya, namun Jeffrey ingin menyelesaikannya sendiri kali ini.
Ia kembali memetik gitarnya. Mencoba nada yang baru, namun baru beberapa detik mencoba, ia menggenjreng senar gitarnya kasar.
Menghempaskan tubuhnya kepada sandaran sofa dengan lumayan keras. Pikirannya kalut. Bayangan masalalu nya yang kemarin sempat ia singkirkan sejenak, kini kembali muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfic"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...