Kafka masih duduk ditepi kolam renang rumahnya bahkan ketika hari sudah hampir malam.
Rasanya lebih baik untuk menceburkan diri kedalam kolam dan tak perlu kembali ke permukaan. Toh tak akan ada yang mencarinya. Siapapun itu.
Pandangan matanya lurus. Auranya begitu kuat. Khas seorang Kafka.
"Hai, kamu susah dihubungi dari kemarin. Kamu nggak kenapa-napa kan?" Kafka menelisik wajah cantik Alana yang tersembunyi sebab gadis itu menunduk.
Mencari manik mata gadis itu. "Lan, kamu nggak apa-apa kan?"
Alana ragu-ragu mendongak. Dan detik ketika mata mereka bertemu, Kafka menyadari jika memang seharusnya ia tak perlu untuk kembali lagi.
"A- aku nggak kenapa-napa kok, aku baik baik aja. K-kamu udah baikan?"
"Kamu kenapa?" Kafka menuntut jawaban. Dan Alana kemudian justru menggeleng.
"Aku nggak kenapa-napa. Kan udah dibilang, aku ba-"
"Kamu takut, atau ragu? Atau justru takut karena ragu?"
Alana takut takut mendongak, membalas tatapan Kafka yang menurutnya asing. Ia tak pernah melihat sorot mata lembut itu berubah sedikit mengerikan seperti saat ini.
"M– maksud kamu?"
"Coba tanya pikiran sama hati kamu. Barangkali ada yang nggak singkron. Aku masuk dulu."
Dan Kafka kemudian meninggalkan Alana seorang diri dihalaman parkir sekolah. Gadis itu menghela nafas panjang. Kafka sepeka itu dengan sorot matanya.
Apakah ia mulai ragu? Tapi kenapa? Kenapa justru ketika mereka mulai saling membutuhkan?
Ck. Bella sama aja.
Kafka mengusap wajahnya. Dan kemudian menoleh terkejut karena seseorang datang dan melemparkan sebuah amplop diatas meja kecil disampingnya.
Kafka menaikkan satu alisnya ketika melihat Kevin yang berdiri disana. Ia melihat amplop itu dan Kevin bergantian, seperti bertanya, maksudnya?
"Keputusan pengadilan buat gue rehabilitasi. Itu kan yang lo mau?"
Kafka tersenyum miring. "Gue yang mau? Kenapa cuman sekedar rehab, kalo gue yang mau."
"Anjing ya. Mau lo apaan sih?"
"Lo ga pernah lahir dan ga perlu dateng kesini. Kurang puas lo dateng dan bikin semuanya berantakan?" Jawab Kafka santai. Bahkan disaat Kevin terlihat sudah sangat kesal.
"Lo tau Kaf? Gue kesini awalnya mau minta maaf sama Alana tapi liat respon lo yang kaya gini harusnya Alana emang ga perlu gue biarin selamat kemarin."
"Terus, lo pikir dengan lo minta maaf sama dia keadaan balik kayak dulu? Enggak, Vin. Ga ada yang rugi dan untung dari lo minta maaf ke dia. Jadi mendingan, lo pergi dari sini cepet. Sebelum gue tuntut lo untuk kasus yang beda. Lo kan, yang waktu itu nyebabin kecelakaan didepan toko cuci foto."
Kafka menatap Kevin yang terlihat tersentak. Kafka tau?
Cowok itu beranjak dari kursi. Berhadapan langsung dengan Kevin.
"Juga satu lagi. Jangan pernah muncul didepan gue lagi. Anggep aja, kita dilahirin wajahnya mirip cuman karena kebetulan. Bukan karena serahim."
Kafka tersenyum miring sebelum akhirnya berlalu dari hadapan Kevin yang hanya terdiam.
Tiba dikamarnya. Kafka menutup keras pintunya, lantas terduduk didepan pintu. Menahan sesak yang mendadak menjalar begitu saja didadanya. Bagaimanapun mereka saudara kandung, lebih lebih kembar. Itu sangat melukainya.
![](https://img.wattpad.com/cover/248620942-288-k634313.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfiction"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...