Alana menemui Kafka ditaman komplek perumahannya. Duduk dibangku panjang tribun lapangan basket yang berada ditengah taman, berdua dengan Kafka sembari menikmati langit yang telah mulai menjingga.
"Kamu kenapa?" Tanya Kafka, menelisik seluruh wajah Alana.
Gadis itu menghindari tatapan mata Kafka, memilih menatap bawah dan berusaha menyembunyikan mata sembabnya.
"Hmm? Kenapa apanya?"
"Kamu habis nangis?"
"Enggak." Jawabnya cepat.
"Liat sini, Lan. Kan aku disini."
Alana mengangkat wajahnya. Menoleh kearah Kafka, tetapi tetap mengedarkan pandangannya kearah sekitar.
"Enggak, tadi aku habis–"
"Kamu inget sesuatu?"
Alana menatap Kafka. Pupil matanya melebar mendengar pertanyaan Kafka yang tepat itu. Ia menarik nafasnya panjang.
"Kalau memang susah. Jangan dipaksa untuk mengingat, Lan. Nanti kalau–"
"I'm okay. Aku nggak mau terus terusan hidup dalam bayangan, Kaf. Aku mau inget semuanya."
Kafka terdiam sesaat. Memandangi gadisnya lekat. Lantas tersenyum simpul.
"Okay, nggak usah dibahas. Tangan kamu, kenapa?"
Alana yang semula menyembunyikan tangannya, kini membiarkan Kafka melihatnya. Menaruh kedua telapak tangannya, pada tangan cowok itu. Tetapi Alana menunduk, takut jika Kafka akan menemukan kebohongannya.
"Ini kenapa?" Tanya Kafka, khawatir yang tertutupi sedikit amarah. Tak kentara, namun terasa auranya.
"T-tadi, aku nggak sengaja–"
"Keyra?"
Gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap Kafka dengan takut takut.
"Dia bisa dikeluarin kalo sampe semuanya tau, Kaf."
"Dia mau ngapain? Bunuh kamu?"
Demi Tuhan. Alana kira Kafka tidak akan berpikiran sejauh itu.
"Ih, mikir apaan sih?" Seru Alana. "Ya nggak mungkin lah. Ya cuman,"
"Cuman apa?"
"She doesn't like my face."
"Iyalah. Jelas. Kamu cantik gitu. Aku aja suka. Pasti yang cewek iri."
Alana menatap Kafka tidak percaya. Barusan apa yang Kafka katakan? Apakah dia keceplosan? Atau berbohong? Atau sebatas mencairkan suasana?
Pipi gadis itu perlahan menghangat. Dan semburat merah yang muncul tak dapat dikontrolnya. Degub jantung Alana sudah tak karuan lagi. Jangan sampai tangannya yang saat ini berada dalam genggaman Kafka ikut ikutan tremor.
Jatuh reputasinya nanti.
Alana hampir menarik kembali tangannya, tetapi Kafka lebih kuat menggenggamnya kembali.
"Aaww." Rintih Alana ketika Kafka tak sengaja menyentuh tangannya yang terluka.
"Maaf, maaf. Makanya jangan ditarik. Aku sembuhin dulu."
"Make apa? Dari tadi cuman kamu pegangin doang."
"Doa dong. Kan yang maha penyembuh bukan aku."
"Ck. Kaf,"
"Mau eskrim? Aku beliin di minimarket depan. Sekalian ganti perban kamu. Udah kaya gini, nanti kalo infeksi gimana?"
Dengan imbuhan tatapan Kafka yang sedikit memaksa, Alana akhirnya mengiyakan. Susah payah ia naik motor Kafka sembari menahan perih lukanya untuk berpegangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfiction"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...