Maaf untuk apa?
Alana tak lagi mampu berucap apapun ketika Kafka akhirnya keluar dari mobil. Ia sempat berbicara beberapa kata. Menjelaskan dan bertanya. Namun tak ada yang peduli, mereka tak mengindahkan seluruh penjelasan Kafka kalau dia bukan Kevin.
Setelah bapak bapak yang berjalan menggunakan kruk tadi masuk kedalam bangunan kumuh itu, Kafka dihajar habis habisan. Sekitar empat lawan satu. Alana tak berhentinya nya mengirimkan pesan pada Hanaf, meminta tolong untuk segera datang ke lokasi yang baru saja ia kirimkan.
Dan ditempatnya berdiri sekarang, Kafka bertahan mati matian menghindari segala serangan. Tak ada lagi kesempatan untuk menyerang balik. Ia hanya mampu bertahan. Dan berharap, tidak akan terjadi sesuatu dengan Alana.
Kafka sudah cukup menghukum dirinya sendiri karena gagal melindungi Alana satu tahun yang lalu. Jika sekarang ia gagal lagi, biarkan tuhan saja yang menghukumnya.
Cowok itu menoleh sekilas kearah mobil, mengecek Alana. Namun ketika menoleh, waktu seolah melambat. Bagian tengkuknya dipukul begitu keras hingga menyebabkannya jatuh terjerembab kedepan.
Pandangannya mengabur. Titik darah yang muncul dipelipis, pipi, dan sekitar mulut tiba tiba terasa begitu nyeri.
"Arghhh." Kafka melenguh begitu perutnya ditendang dengan kuat.
Alana menahan teriakannya. Ia hampir saja melemparkan ponselnya andai tidak ingat apa yang Kafka peringatkan.
Tuhan. Bahkan traumanya kemarin saja belum sempurna menghilang. Mengapa kini muncul lagi sebuah hal yang akan menyebabkan nya kembali trauma berkepanjangan.
Gadis itu tidak menangis. Ia hanya ketakutan. Tangannya berkeringat dingin dan bergemetar hebat. Jantungnya terasa seperti setelah dibawa maraton. Degubnya tak lagi beraturan.
Tok tok.
Alana menoleh kearah jendela mobil yang diketuk. Sebuah seringai muncul dibibir orang yang baru saja mengetuk kacanya.
Ketika Alana mundur karena terkejut, ia justru disekap dari belakang. Pintu mobil memang terlock ketika Kafka meninggalkan Alana sendirian sebelum keluar tadi, tapi komplotan orang gila ini berhasil mendapatkan kuncinya saat Kafka hanya mampu terkapar.
■ ■ ■
Bunyi dering ponsel membangunkan Alana. Ia membuka matanya perlahan. Ketika pening masih menggerayang hebat dikepalanya, ia segera tersadar. Tangannya terikat dengan sebuah kursi, dan mulutnya dibekap sebuah kain. Disebuah ruangan kumuh bau alkohol, pesing, juga bau rokok. Menjijikkan.
"Udah sadar? Tadi ngabarin siapa aja, cantik?" Pria tua yang menggunakan kruk itu berjalan mendekati Alana. Memamerkan ponsel gadis itu yang berhasil diambilnya.
"Handphone kalo dijual dapet berapa sih?"
"Sejuta bos, kemarin saya beli bekas harganya sejuta." Salah seorang diantara mereka membalas.
Pria tua itu mencibir. Alana menatapnya tajam.
"Sejuta doang ya? Ck. Kurang. Tapi kalo yang didepanku ini yang dijual, baru banyak sih kayaknya."
"Kamu cantik, anakku juga ganteng kan? Pantes kamu mau."
Anakku? Ini bapaknya siapa anjir?
"Tapi sayangnya dia nakal ya, makanya harus dihukum." Pria itu terkekeh.
Dan kekehannya terhenti begitu sebuah panggilan kembali masuk pada ponsel Alana yang masih digenggaman pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfiction"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...