01. they never know

134 13 0
                                    

"Mama pergi dulu, jangan lupa buat makan sama mandi." Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi kiri Kafka Moehar yang baru saja masuk kedalam rumah namun sudah mendapati Mama nya bersiap akan pergi.

"Mau kemana?" Tanyanya. Dalam hati. Semenjak kejadian itu, hubungan ibu dan anak itu mengalami sedikit keretakan. Seperti ada sebuah dinding tak kasat mata yang membatasi Kafka untuk kembali dekat dengan Mamanya.

Sekat yang tak hanya membatasi namun juga hampir memutuskan hubungannya.

Kafka mengangguk sekilas, lantas segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Ruangan itu remang. Kafka tak berniat sama sekali untuk sekadar membuka gorden jendela agar setidaknya ada sedikit cahaya masuk. Ia enggan.

Detik berikutnya, ia menghempaskan tubuhnya keatas ranjang. Matanya menerawang langit-langit kamar yang kosong. Selayaknya perasaan nya. Bukan, bukan berarti tak ada nama seseorang disana. Melainkan sebuah perasaan kosong yang membekas, terus menggerogoti hatinya. Menyisakan sepi.

Ponselnya berdenting, menandakan pesan masuk. Kafka beranjak, bukan untuk mengambil ponselnya dan membaca pesan itu. Namun ia justru membuka beberapa album lp vinyl yang tersimpan rapi di rak samping meja belajarnya.

"Aku suka ini. Kamu mau nggak, dengerin lagu ini tiap malem sebelum tidur biar inget aku terus."

Hatinya berdenyut nyeri. Sungguh. Seperti ditikam belati berulang kali. Setiap kali suara yang sama itu terngiang dikepalanya, ia akan selalu mengutuk dirinya sendiri. Menyalahkan diri sendiri, dan bahkan, melukai dirinya sendiri. Kafka seburuk itu untuk hanya sebatas berhadapan dengan kenangan.

Ia tak hanya cukup dengan menangis demi menghilangkan sakit hatinya. Selalu lebih dari itu. Selalu membahayakan dirinya sendiri bahkan. Sebodoh itu, dan selemah itu memang. Tapi bukankah urusan hati setiap hamba hanya Tuhan yang tau?

Kali ini, ia tak menangis. Ia hanya terdiam cukup lama saat menyadari jika tangan kirinya telah penuh dengan bekas goresan-goresan benda tajam yang ia gunakan untuk melukai dirinya sendiri.

Selfharm. Kafka mengakui itu.

Tidak ada yang pernah tau mengenai kepedihannya selama ini. Semua orang hanya menganggap jika ia sebatas trauma karena kejadian itu. Padahal kenyataannya, ia lebih dari sekedar hancur. Betapa hebat image yang selama ini ia pasang didepan banyak orang.

Kini, ponselnya berdering. Kafka menaruh kembali lp itu keatas meja. Dan bergerak untuk mengangkat panggilan itu begitu nama seseorang muncul disana. Ah lupa, ada seseorang yang tau kepedihan Kafka selama ini. Hanya kepedihannya, bukan kehancuran.

"Kenapa?" Tanya Kafka, saat panggilan sudah terhubung.

"..."

"Kenapa sih?"

"..."

"Bangsat, napa sih lo?"

"Nah, gitu dong nge-gas." Terdengar suara kekehan dari seberang. "Buruan sini, gue cuman berdua doang sama Melly nih, lo kaga mau nemenin gue?"

Melly bukan nama manusia, Melly nama motor ninja kesayangan orang gila yang meneleponnya ini. Kafka menghela nafas sejenak.

"Iya deh, gue susul." Jawabnya kemudian. Terlalu lama berdiam diri didalam kamar seorang diri seperti saat ini hanya akan semakin menyiksa nya.

■ ■ ■

"Gue kira nggak dateng. Lo kan suka memingit diri."

Kafka tak menanggapi selorohan Jeffrey temannya itu. Bukan teman, Jeffrey lebih dari sekedar itu. Mantan tetangga nya yang lebih tua tiga tahun darinya itu sudah selayaknya kakak dan sahabat untuknya. Untuk seorang Kafka yang memiliki dua image untuk dunia. Dunia luar dan dunianya sendiri.

walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang