20. minimal warm

25 6 0
                                    

Kafka tiba di rooftop sekolah yang sepi. Tidak banyak murid yang pernah kesini. Meskipun pemandangan yang ditawarkan cukup indah, tapi perut tetap menjadi prioritas utama saat waktu istirahat tiba.

Acara akhir tahun sekolah akan diadakan tidak lama lagi. Berkisar satu minggu lagi. Dan Kafka masih belum tau akan menampilkan apa. Tujuannya mengikuti acara itu hanya untuk senang-senang. Tidak benar-benar niat ingin menunjukkan bakat.

Dan bulan depan, Mamanya akan kembali menikah. Kafka ingin segera hidup sendiri, terpisah dari Mamanya. Sedangkan usianya masih terlalu muda untuk memegang perusahaan Papanya meskipun memang seluruh hak waris perusahaan atas nama dirinya. Percuma, ia seperti tidak memiliki daya untuk hal itu.

Jadi, Mamanya tetap memegang kendali pada perusahaan mendiang Papanya.

Mana buat ngencani bajingan lagi.

Ia tertawa miris. Sangat memalukan. Tak pernah ia sangka jika ibunya akan berbuat hal sebodoh itu disaat masih memiliki dirinya.

Kafka menatap langit. Ia sudah mampu berdiri sendiri sejauh ini. Kembali mengenang meskipun menyiksa. Dan bahkan sudah mampu untuk kembali memperjuangkan Alana. Itu sebuah kemajuan yang baik untuk jiwanya yang pernah rapuh.

Ia akhirnya mendapatkan ide untuk penampilan akhir tahunnya. Berhubung sudah seminggu lebih ia tidak pulang kerumah pula, maka sore nanti, ia memutuskan untuk pulang kerumah. Apapun yang akan ia dengar dari Mamanya nanti, itu hanya sebatas angin lalu.

Kafka dan Alana tidak lagi bertemu setelah tadi Kafka memberikan gantungan kunci dandelion itu. Sebenarnya Alana melihat sekilas cowok itu keluar dari gerbang sekolah. Namun ia hanya terdiam tidak menyapa karena Hanaf dipintu seberang telah menantinya untuk segera masuk kedalam mobil.

"Tuang resin nya, cepetannn." Suara Alana bergemerincing merdu ditelinga Kafka.

"Sabar. Pelan-pelan biar rapi."

"Tuhkan. Punya aku lebih bagus pokoknya."

"Kan belum kering."

"Oiya sebentar, dikasi nama dulu. Kan made in by."

"Nanti aja by, diukir." Kafka menyentuh lembut tangan Alana yang sudah hampir menyentuh resin nya. Melarang.

Alana berdecak kesal. "Ck, dibilang jangan panggil bi. Nama aku kan bukan babi." Sewotnya.

"Ih, baby tau. Bukan babi. Artinya tuh-"

"Bayi. Kan aku bukan bayi." Alana memotong cepat ucapan Kafka.

"Sayang. Artinya tuh sayang."

"Cringe ih." Gadis itu berpura-pura bergidik ngeri. Menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Kafka tersenyum-senyum seorang diri. Menyenangkan menggoda Alana. Gadis itu padahal sering iseng menggodanya, namun ketika Kafka membalasnya, jawabannya selalu cringe. Padahal nyatanya, ia salah tingkah juga.

Tak terasa Kafka telah tiba dirumahnya. Sepanjang perjalanan, akhirnya ia mampu tersenyum untuk kembali mengingat memorinya dengan Alana. Ia mengingat gadis itu dengan baik, pada potongan memori yang menyenangkan.

Keadaan rumahnya masih sepi dari tampak luar. Tetapi ketika pintu besar itu terbuka, beberapa koper besar telah berada diruang tamu. Dengan Mamanya yang baru saja keluar dari kamarnya membawa sebuah koper lainnya.

Kafka melaluinya begitu saja. Segera melangkah kelantai dua dengan memainkan kunci motornya dijari.

"Nak." Ia menulikan pendengarannya.

"Kafka." Langkahnya terhenti. Suara Mamanya terdengar bergetar.

Kafka menarik nafasnya panjang. Menghembuskannya perlahan. Menguatkan diri.

walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang