30. unbreakable

19 5 0
                                    

Kafka menghentikan mobilnya disebuah taman ketika hari sudah mulai malam. Menyandarkan punggungnya kesandaran kursi lantas memejamkan matanya sejenak.

Kepalanya pening. Luka pada pipinya mulai terlihat lebam, dan sudut bibirnya yang sobek belum diberesinya hingga sekarang. Masih menyisakan darah diujung. Cowok itu terlihat sangat hancur.

Dan ketika Kafka membuka matanya, ia tak sengaja menangkap bayangan Alana yang baru saja masuk ke minimarket di seberang jalan. Tanpa berpikir dua kali, ia segera turun dari mobilnya dan menunggu Alana hingga gadis itu keluar dari minimarket.

"Kafka? Kamu– kamu kenapa?!" Alana memekik terkejut karena mendapati Kafka yang tiba tiba menghadang jalannya dengan wajahnya yang lebam lebam.

"Boleh pinjem bahunya sebentar?" Gadis itu terlihat kebingungan. Namun Kafka yang tanpa menanti jawabannya telah memeluknya lebih dulu. Menyandarkan dahinya pada bahu Alana.

Membawanya kedalam dekapan hangat yang membuat hatinya berdesir halus. Jantungnya jumpalitan tidak karuan sebenarnya. Namun Alana hanya mampu terdiam. Sebelum akhirnya ikut melingkarkan lengannya.

"You okay?"

Kafka rindu. Rindu aroma manis yang khas dari Alana. Dan, Kafka marah. Marah pada kenyataan jika- ah, kalian sudah tau.

"No. I'm mess." Kafka melepaskan dekapannya. Lantas menatap gadisnya dengan sorot mata yang redup. Tak ada lagi ke pura puraan disana. Benar benar kacau.

"Wajah kamu kenapa? Kamu kesini naik apa? Kalau naik mobil, kita ke mobil kamu dulu. Aku beliin kassa buat luka kamu. Itu bisa-"

Alana terdiam ketika Kafka tiba tiba mengecup bibirnya sekilas. Lantas mengangguk. "Iya, aku tunggu dimobil."

Gadis itu membuyarkan keterpakuannya setelah Kafka sudah berjalan menuju mobilnya. Ia segera kembali masuk kedalam minimarket dan membeli beberapa keperluan untuk mengobati luka.

Tak lama, setelah Alana selesai membeli seluruh perlengkapan itu, ia turut masuk kedalam mobil Kafka. Duduk dikursi penumpang dan kemudian membuka barang barang yang baru saja dibelinya.

Ia dengan telaten membuka kapas dan menuangkan alkohol diatasnya. Lantas ketika sudah siap, ia baru menegur Kafka yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Sini, aku bersihin dulu lukanya."

Kafka menoleh. Lantas tersenyum sendu.

"Maaf." Alana menghentikan pergerakan tangannya.

"Buat?"

"Nggak bisa jagain kamu kaya yang Mama kamu minta."

"Kaf–"

"Iya, dia saudara kembarku. Dia yang nyelakain kamu."

"Udah-"

"Makasih untuk nggak buka kasus itu lagi." Meskipun dulu aku yang marah karena kasus itu ditutup gitu aja.

"Aku bersihin dulu lukanya."

Sesuatu yang tidak pernah Alana sangka terjadi. Kafka menitikkan air matanya. Lantas terdiam kembali cukup lama. Alana tidak mengerti persis bagaimana perasaan cowok dihadapannya ini.

"Kafka, hei."

Kafka masih memejamkan matanya. Menangis dalam diam. Ia benar benar kacau sekarang. Tidak tau harus bagaimana lagi. Apapun yang ia lakukan, tidak akan pernah mengubah apapun.

Beberapa saat kemudian. Setelah lebih tenang. Kafka menegakkan duduknya. Lantas menoleh kearah Alana.

"Basahin kapasnya. Tuang alkoholnya yang banyak nggak apapa."

"Tapi," Alana menatapnya tak percaya.

"Nggak apapa. Tolong." Menuruti Kafka, Alana kembali menuangkan alkohol pada kapasnya yang memang hanya basah sedikit.

Dan cowok itu hanya meringis ketika Alana membersihkan seluruh lukanya hingga selesai.

"Thank you for being my anesthesi." Ujar Kafka, sebelum kemudian melajukan mobilnya dan segera mengantarkan Alana pulang kerumahnya.

■ ■ ■

Kafka menghentikan mobilnya dihalaman rumah Jeffrey. Namun ketika akan melangkah masuk kedalam rumah, ia merasa seseorang memantaunya dari luar pagar rumah.

Cowok itu menghela nafas pendek.

Jangan sampe, ya Tuhan.

Jeffrey sedikit terkejut ketika mendapati Kafka yang tiba tiba datang menyambanginya dibalkon. Masalahnya, saat ini ia tengah baru saja akan menyalakan rokoknya yang kedua.

"Babi. Masuk gapake salam." Ujar Jeffrey, was was jika Kafka akan melaporkan ke Mamanya.

Namun Jeffrey lebih terkejut lagi ketika Kafka mendadak mengambil satu batang rokoknya yang berada diatas meja. Demi apapun, Kafka tidak pernah merokok sebelumnya.

Sebelum Kafka menyalakan api dengan korek yang telah digenggamnya, Jeffrey lebih dulu mengambil batang rokok yang berada diapitan mulut Kafka. Membuangnya ke tong sampah bersama batang rokok ditangannya, rokok yang masih tersisa setengah bungkus diatas meja dan juga korek apinya.

"Lo kenapa sih? Hah? Urusan Alana doang masa iya mau ngerusak diri."

"Ayo ke club, gue bayarin." Ujar Kafka, datar.

"Tolol."

"Jeff. Lo percaya nggak kalo gue punya sodara?"

"Ya semua orang punya sodara, Kaf. Napa emang?" Jeffrey menjawab sembari menyeruput kopi hitamnya yang tersisa setengah cangkir.

"Gue punya kembaran." Datar, tapi cukup untuk membuat Jeffrey tersedak kopi yang berada dimulutnya.

Uhuk!! Uhuk!!

"Ck. Biasa aja responnya."

Jeffrey masih terbatuk.

"Mama ternyata masih punya anak lain. Kembaran gue. Ya tapi masih ganteng gue sih."

"Terus?"

"Gue serius ini tuh, elah. Dia yang dulu bawa mobil gue terus dibuat kecelakaan sama Alana. Dia Jeff, yang ternyata mau nyoba nyelakain Alana."

"Dan lo tetep mau buka kasus nya lagi?"

"Kan gue udah bilang, telat. Percuma."

Kafka menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Dua minggu lagi mama nikah."

Jeffrey masih menyimak, menanti ucapan Kafka selanjutnya.

"Dan maybe bocah itu yang bakalan dimasukin ke KK mereka."

"Lo mau masuk KK gue juga nggak masalah kali, Kaf."

"Makasih, tapi perusahaan pasti udah nentuin gimana gimana nya gue." Cowok itu tersenyum tengil, pamer.

"Taik." Desis Jeffrey.

"Lo dateng kan keacaranya? Tante Yuna dateng kan?"

Jeffrey mengangguk. "Iya, kalo lo ga banyak tingkah gue sama Mama dateng. Papa ada dinas luar kota juga kaya nya pas itu."

"Okedeh. Btw, pinjemin gue mobil lo buat balik besok. Mobil gue biar gue suruh ambil orang rumah aja."

"Mau kemana emang? Ogah kalo buat aneh aneh."

Kafka menegakkan duduknya. Lantas menyuruh Jeffrey mendekat. Membisikan sesuatu yang cukup membuat kedua alis tebal Jeffrey menukik tajam. Antara heran, dan juga bingung.

■ ■ ■

walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang