Alana masih duduk manis dikursi nomor tiga belas ketika tiba-tiba datang seseorang menghampirinya.
"Loh, udah selesai?" Tanyanya kebingungan. Seharusnya orang itu masih berada diatas panggung.
Dengan cepat, cowok itu mengangguk. Lantas mengajak Alana segera pulang. Seperti sedang terburu-buru. Tidak banyak bicara, bahkan tidak memesan segelas es americano nya dulu. Benar-benar berbeda dari biasanya.
"Kaf, pelan-pelan." Ujar Alana yang kewalahan mengimbangi langkah cowok dihadapannya.
Tapi cowok itu menulikan pendengarannya, segera menyuruh Alana masuk kedalam sebuah mobil yang terparkir didepan kafe.
Alana menautkan alisnya. Ada apa dengan cowok itu? Sangat berbeda dari biasanya.
"Kita pulang." Ujar cowok itu, dingin.
"Kamu tumben, biasanya harus pesen americano dulu baru mau pulang. Mama nungguin ya?"
Tak menjawab pertanyaan Alana, Kafka segera membawa mobilnya melaju cepat dijalanan. Bahkan terkesan ugal-ugalan.
"Kaf, pelan-pelan. Keburu apa sih?"
Alana mencengkeram kuat seatbelt nya. Menahan nafasnya. Jujur, ia sangat ketakutan. Dan aura Kafka benar-benar berbeda.
"Kafka!" Alana memekik kencang sebab mereka baru saja hampir akan, sedikit lagi, menabrak sebuah truk dari arah berlawanan. Gadis itu masih ingin hidup lama.
"Shut the fuck up!"
Alana mendelik terkejut. Hampir genap satu tahun ia mengenal Kafka. Tak pernah sekalipun cowok itu membentaknya. Bahkan saat sebelum jadian pun, cowok itu sama sekali tidak pernah membentaknya ataupun sebatas berucap kasar. Tidak pernah, tak hanya pada Alana, Kafka tak pernah berkata kasar kepada semua perempuan.
Tapi ini?
"Kaf! Stop! Kalo kamu marah berhenti dulu! Kamu gabisa bawa mobil kaya gini!" Seru Alana, jengkel.
Tapi mobil itu masih melaju kencang, bahkan saat ini lebih kencang dan tidak tahu aturan.
"Do you think i'm angry?" Kafka melirik kearah Alana.
Dan detik berikutnya, gadis itu tersadar.
"L- lo.. Lo bukan Kafka?" Alana bertanya lirih. Takut. Ia sangat ketakutan sekarang.
"Cepet sadar juga ternyata." Kafka—atau siapapun itu, tersenyum miring. Senang.
Bagaimana bisa?!
Otak Alana memutar cepat tentang artikel alter ego yang pernah dibacanya.
Nggak mungkin. Mustahil.
"M-mau lo apa?" Gadis itu mencicit, ketakutan. Ia tidak punya jalan keluar lagi.
"Simpel. Bikin Kafka menderita."
Setelah menjawab itu, mobil dibawah kemudinya yang masih melaju dalam keadaan cepat itu membanting arah kemudi. Hilang kendali dan menyerempet banyak beberapa pengguna jalan yang ada. Lantas sempat melewati pembatas jalan, dan terbalik. Kemudian menabrak pohon besar dipinggir jalan, dengan sengaja.
Alana merintih kesakitan, kepalanya terbentur dasbor dengan cukup kencang. Darah mengalir dipelipis nya. Dan setelah itu, ia mendengar sebuah bisikan kecil mematikan ditelinganya.
"Then, i hope you die, darling." Dan tawa keras yang penuh kehampaan dan dendam.
Leher bagian belakang nya sakit. Gadis itu tersengal satu dua.
Kaf, anyone you. I hope this was just a dream.
■ ■ ■
"Alana. You okay?" Alana membuka matanya perlahan. Ia berada didalam sebuah mobil yang asing.
Namun begitu mendapati wajah Kafka didekatnya, Alana langsung melonjak kaget. Bahkan tubuhnya membentur pintu. Ia terkejut, dan juga takut.
Apa yang baru saja melintas dipikirannya benar-benar menyeramkan. Sesuatu yang, seperti—tidak mungkin.
"Ah, kita tadi ga sengaja ketemu. Dan lo keliatan syok banget waktu liat kecelakaan tadi jadi gua bawa lo–" Kafka terlihat menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak Alana tanyakan.
Lantas terdiam ketika Alana memandangi nya lekat.
Gadis itu memandanginya lama. Menyeka air matanya yang tiba-tiba terjatuh dan membuat jantungnya terasa ditikam kuat. Takut, dan sebuah rindu berkecamuk didalam benaknya.
Kafka mengulurkan tangannya, berniat akan mengusap air mata itu. Namun Alana lebih dulu menggenggam tangan Kafka yang berada didekat pipinya. Menatap kedua mata hitam itu dengan intens.
Menguatkan hatinya.
"Lo siapa sebenernya, Kaf?"
Ada perubahan air wajah yang sangat kentara diwajah tampan itu. Terkejut. Pupil matanya terlihat melebar. Dengan jarak yang termasuk dekat ini, Alana dapat melihat itu semua dengan jelas.
Kafka hampir menarik kembali tangannya, namun Alana mencegahnya. Menggenggam kuat tangan Kafka. Tangan yang dulu selalu mengusap air matanya, menggandengnya, dan memeluknya.
"Lo siapa? Kenapa lo terus-terusan muncul disetiap mimpi aneh gue? Kenapa foto lo ada disetiap roll film lama gue? Kenapa–" Alana menjeda ucapannya. Menarik nafas panjang. Ia menangis.
"–kenapa rasanya sakit karena nggak bisa inget lo?" Suaranya lirih. Ia menatap Kafka dalam dengan mata basahnya.
Cowok itu menelan salivanya. Terkejut dengan pertanyaan Alana yang mendadak. Ia tidak pernah menyangka jika gadis itu akan menanyakan hal ini.
"Alana,"
"Jawab, Kaf! Jawab gue, karena Mama nggak mungkin kasih tau gue." Alana marah. Pada keadaan, pada kenyataan.
Kafka memejamkan matanya sejenak. Menarik nafasnya panjang, dan kemudian menaruh tangannya pada pipi Alana yang dingin. Mengusap air mata gadisnya yang tersisa disana.
Jadi semua dugaannya selama ini benar? Tentang ingatan Alana yang sengaja dimanipulasi. Tentang Alana yang tak mengingatnya bukan karena sengaja.
"Gue nggak bisa jawab." Ujar Kafka, memecah hening.
"Kenapa? Kenapa lo nggak bisa jawab gue?" Alana menuntut jawaban.
Kafka memandangi wajah gadis nya dengan lekat. Mengusap-usap pipi dingin itu. Matanya tak lepas untuk mengamati setiap inchi pahatan Tuhan yang sempurna ini.
Ia tersenyum. Menyiapkan jawaban terbaik.
"Karena jawabannya ada sama lo. Ada di hati dan pikiran lo."
Alana susah payah mencerna jawaban Kafka yang sama sekali tidak memuaskan itu. Matanya kembali bertemu dengan mata hitam Kafka.
Detik berikutnya, yang terjadi adalah Kafka yang mengungkapkan seluruh perasaan rindu, sakit dan kecewanya dalam bahasa tubuh.
Alana terdiam, mematung lama sebelum akhirnya turut memejamkan matanya, terbawa suasana. Dan kemudian menyadari, jika perasaan tak harus selalu diungkapkan dengan kata.
■ ■ ■
Cr/pinterest
Ekspresinya nana di foto ini sedikit ga kebacaa gitu gasi yorobunnn. Kaya agak, antara kaget, atau marah? Entah. Ga ketebak.
Happy reading all.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Jaga kesehatan jangan lupa.
Bubayyyy.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfic"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...