Seiring dengan mata Alana yang menutup perlahan. Sebuah ingatan melesak cepat masuk kedalam kepalanya. Mengobrak-abrik tatanan hatinya selama ini. Benar-benar seperti menarik Alana kewaktu itu.
Waktu Alana berada disebuah taman berdua dengan Kafka. Mengobrol banyak hal, tentang sesuatu yang akan tiba, sesuatu yang telah dilalui. Namun tak pernah terpikirkan sesuatu mengenai saat ini.
"Bumi atau langit?" Alana menyeletuk, bertanya asal pada Kafka yang saat ini tengah memandangi langit.
Cowok itu menjawab cepat. "Kamu."
"Ck. Serius."
Kafka beranjak dari posisi setengah rebahannya. Menatap Alana dalam.
"Emang ada apa sama bumi dan langit?"
"Bumi itu, dia menyimpan banyak elemen. Dari tanah, air, mungkin juga udara. Dan langit, dia punya bulan, bintang, atau bahkan matahari. Mana yang menggambarkan kamu waktu sama aku?"
"Dua-dua nya punya kehidupan yang berbeda. Aku nggak mungkin bisa milih salah satunya." Jawab Kafka.
"Bukannya kalau beda harusnya justru bisa pilih salah satu?"
Kafka tersenyum. "Karena saling berbeda itu, maka keduanya ditakdirkan untuk saling melengkapi. Bumi nggak mungkin tanpa langit. Mereka satu semesta. As you, kamu semestaku."
Wajah Alana memanas. Ia menahan senyumnya. Kafka memangkas jarak. Memandangi wajah Alana lebih dekat. Dan menikmati proses munculnya semburat merah pada pipi gadis itu.
"Kaf," Alana memanggilnya pelan, grogi.
"Kamu tau, air selalu memiliki alurnya sendiri untuk mengalir."
Detik berikutnya, dengan debaran jantung yang menggila, Kafka mencium gadisnya untuk pertama kali. Alana, dengan sisa kesadaran yang ada sengaja membiarkan waktu melambat. Merekam jelas semua ini dengan perasaan nya.
Lantas kemudian, ingatan lainnya turut hadir, Kafka berada ditengah lingkaran banyak orang memangku gitarnya. Diterangi cahaya dari api unggun yang berada didepannya. Sangat menakjubkan. Terlebih bagaimana cowok itu mulai menyanyikan sebuah lagu dengan pandangan matanya yang tak lepas menatap Alana.
Kemah, satu tahun lebih yang lalu. Alana mampu mengingat hal itu kembali.
Segelas teh jahe panas, selimut hangat yang digunakan untuk berdua. Semuanya muncul secara sporadik dalam kepala Alana. Ia menemukan potongan demi potongan ingatannya kembali. Namun dengan hubungan apa ia dan Kafka yang dulu ia jalani, Alana mendadak ragu.
Kafka menjauhkan wajahnya. Menatap Alana yang menangis kembali.
"Kamu inget sesuatu?" Tanyanya lembut.
Alana mengeleng. Perasaannya tidak karuan. Ia mencintai Kafka yang saat ini, tidak berhubungan dengan Kafka yang dulu. Dan setengah hatinya yang lain memberontak, ingin tahu siapa Kafka yang dulu dihidupnya.
Ia, sebatas ingin tahu.
Kafka mengangguk pelan.
"Ayo, aku anter pulang." Ujarnya. Membiarkan hatinya yang ngilu.
Alana tidak meminta langsung diantar pulang kerumahnya meski hari sudah hampir memasuki sore. Ia meminta pada Kafka untuk diantarkan kesuatu tempat. Ditepi kota.
Dan kini, gadis itu berdiri seorang diri menatap kosong sebuah nisan dihadapannya. Membiarkan tubuhnya basah terkena rintik hujan yang masih tersisa.
Kafka berdiri mematung beberapa langkah dibelakang Alana. Menatap tidak percaya apa yang dilihatnya.
"S-siapa?" Tanya Kafka, kelu.
KAMU SEDANG MEMBACA
walk on memories || Na Jaemin [SELESAI] ✔
Fanfic"Bagaimana bisa, ketika orang lain ada yang tengah menangisi setiap kenangan miliknya aku justru tidak memiliki kenangan apapun." Kim Lana harus berbohong setiap kali ada yang bertanya ingatkah dia dengan orang itu. Berpura-pura mengenal semua orang...