Part 11

48 13 0
                                    

Cia masuk ke dalam rumahnya dan menuju ke kamarnya. Cia mandi dan seperti biasa belajar dimeja kesayangannya.

Meja yang dipenuhi berbagai macam buku. Mulai dari buku pengetahuan, percintaan, kesehatan, dan buku lainnya.

Dulu, sebelum Cia memiliki kekasih, Cia hanya menghabiskan waktunya di meja belajarnya. Sekarang tidak jauh beda. Cia tetap belajar dengan tekun tanpa adanya gangguan atau tekanan dari Ryan. Karena Ryan terus mendukung apapun yang Cia lakukan. Tentunya hal yang positif. Cia juga sebaliknya.

Kini, Cia sedang sendiri di rumahnya. Eits, tidak! Cia bersama Bibinya yang sangat ia sayang dan sudah Cia anggap sebagai Ibu angkatnya.

Setelah lama belajar, Cia merebahkan dirinya di kasur kesayangannya. Bi Intan mengetuk pintu kamar Cia.

Tok! Tok! Tok!

"Non, Bibi bawakan air jahe dan roti coklat untuk Non," teriak Bi Intan dari luar.

"Masuk, Bi!"

"Nih, Non," ujar Bi Intan menaruh makanan di atas meja.

"Terima kasih, ya, Bi," tutur Intan pada Bibi.

"Iya, Non sama-sama." Bibi pun beranjak keluar dari kamar Cia, namun Cia memanggilnya.

"Bi!" panggil Cia.

"Kenapa, Non? Ada yang bisa Bibi bantu?" tawar Bibi pada Cia.

"Sini duduk, Bi."

"Gapapa Non, nanti kasur Non kotor," tolak Bibi secara halus.

"Ih si Bibi ngomong apa sih? Sini, Bi." Cia menarik tangan Bibi dengan lembut dan duduk di sebelahnya.

"Cia mau nanya, kalau Bibi diajak jalan sama cowok, Bibi mau, gak?" tanya Cia.

"Tergantung, Non."

"Kenapa, Bi?" Cia mengernyitkan dahinya.

Bi Intan menarik nafas panjang sambil menatap Cia ditemani dengan hembusan angin malam yang masuk melalui jendela kamar Cia.

"Tergantung cowoknya, Non. Karena cowok yang sejati adalah di mana dia bisa menunjukkan jalan yang benar kepada kekasihnya," nasihat Bi Intan pada Cia yang terus mendengarkannya.

"Tapi kalau dia kaya raya bagaimana, Bi?" tanya Cia lagi.

"Sekaya-kayanya manusia tidak akan bisa membawa harta ke surga, Non. Uang bisa dicari di dunia, tapi amal dan ibadahlah yang bisa membawa kita ke surga, Non" jelas Bi Intan.

"Iya sih, Bi. Tapi kalau cowoknya ganteng Bi, bagaimana? Pasti membuat jantung berhenti dan senang banget kalau diajak jalan sama cowok ganteng, Bi," ujar Cia kemudian meneguk air jahe yang sudah disiapkan oleh Bi Intan.

"Gini, Non. Bibi pernah muda dan pernah jatuh cinta. Yang namanya ganteng atau manis itu ciptaan Tuhan, Non. Serupawannya wajah manusia, pasti akhirnya akan bersatu dengan tanah. Jadi, bangga dan bersyukur boleh. Tapi, jangan mengagumi dia terlalu dalam, karena dia hanya manusia biasa yang memiliki kesalahan dan dosa." Bi Intan mengelus kepala Cia.

"Wah Bibi ternyata bijak juga, ya. Aku senang bercerita dengan Bibi."

"Yah, Bibi hanya memberi nasihat. Selebihnya tergantung Non sendiri karena Non yang memegang kendali." Bi Intan tersenyum manis.

"Kalau menurut Bibi, Ryan itu gimana, Bi?"

"Menurut Bibi, Ryan itu baik, rajin ibadah, pekerja keras, tidak boros, dan mandiri. Bibi rasa Ryan bisa membawa Non Cia ke kehidupan yang lebih baik lagi," tutur Bi Intan.

"Terima kasih banyak, ya, Bi." Cia memeluk Bi Intan.

"Iya, Non. Selagi Bibi bisa bantu, ya Bibi bantu." Bi Intan membalas pelukan Cia.

RYAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang