Losing Game

58 7 0
                                    

"Suaranya... bukan suara Mori-san yang biasanya,"

"Maksudmu?" Tanya Chuuya agak gusar. Ia terlihat tidak percaya, tapi yang dikatakan Akutagawa ada benarnya juga. Suaranya memang berbeda.

Tapi bisa saja karena udara dingin, atau batuk, radang tenggorokan, atau kemungkinan lain, 'kan?

"Sekali saja percaya padaku, aku yakin dengan apa yang kudengar," Si surai hitam terus berusaha meyakinkan rekannya tersebut, dan akhirnya Chuuya memutuskan untuk percaya.

"Ah, yah sudahlah," Chuuya menghela napas, "Semoga saja kau benar. Jika tidak, kita akan berada di masalah besar,"

Si surai hitam mengangguk. Sebenarnya ia sendiri takut. 

Bagaimana kalau itu hanya di perasaannya saja?

"Mungkin... kita harus segera kembali," Ujar si surai senja ragu.

***

"Ah, Chuuya-kun, mengapa tadi kauputus teleponnya?" Tanya Mori yang ternyata menunggu mereka di depan pintu masuk.

Tampaknya ia tak berdiri dengan siapapun. Sendiri, yang membuat semuanya semakin menegangkan.

"Soal itu... saya minta maaf," Chuuya membungkukkan badannya, diikuti oleh Akutagawa yang mulai merasa agak ragu.

"Yah... saya maafkan," Ujar Mori menghela napas, "Namun tetap saja secara teknis kalian memutus telepon tana alasan yang jelas. Jadi... pada dasarnya kalian tetap salah,"

Ah, jantung kedua orang yang mendengar hal tersebut serasa terhenti sejenak.

Chuuya mulai melirik tajam ke Akutagawa yang terkejut dan bergidik seketika.

"Kalau begitu, kalian tetap boleh kembali ke mansion masing-masing. Sekarang sudah pukul 11 malam," Ujar Mori tegas.

***

"Bukankah sudah kubilang," Gerutu si surai senja.

Manik abu-abu Akutagawa melirik pria yang bersungut-sungut sekilas. Ia tidak berani buka mulut untuk berbicara.

"Ah, seandainya saat itu aku tidak berasumsi terlalu cepat," Batin si surai hitam masih merasa bersalah.

Namun ia tidak sepenuhnya salah. Suara Mori memang agak berbeda. Namun sepertinya dugaan tersebut meleset.

Akutagawa sendiri berjalan jauh di belakang Chuuya. Ia tidak berbicara sepatah kata pun. Seperti anak yang dimarahi ibunya, ia bahkan tidak memiliki keinginan untuk mendekati si surai senja. Hingga akhirnya jalan menuju mansion yang berbeda memisahkan langkah kaki mereka.

Ah... hari itu sangat tegang.

"Bodoh..." Gumam si surai hitam, "Seharusnya aku tidak langsung mematikan teleponnya,"

Langkahnya terasa berat, pikirannya berkabut.

"Lho, kakak baru pulang? Dari mana saja?" Tanya seorang gadis di ambang pintu masuk mansionnya, "Kupikir kakak tersesat tadi,"

"Ah, tidak ada apa-apa," Akutagawa tidak berbicara lebih banyak. Rasanya untuk tidur saja tidak bisa.

"Aku buatkan teh, ya?" Ujar Gin menawarkan, namun Akutagawa menolaknya halus. Tentu saja hal tersebut sangat mengherankan. Tidak biasanya seorang "Akutagawa" menolak jika ditawari teh.

"Kak, ada masalah?" Tanya Gin agak ragu, "Kakak bisa cerita saja padaku, yah, kalau kakak mau. Aku tidak akan memaksa,"

"Tidak, tidak ada apa-apa, aku hanya merasa lelah seharian ini. Bukan masalah besar,"

"Begitu ya..." Gin berhenti membujuk. Ia tahu itu takkan ada gunanya. Salah-salah bisa menjadi masalah baru jika ia mendorong Akutagawa untuk berbicara.

Tentu saja sebagai seorang adik, ia tahu ada yang salah.

Mau tidak mau, keheningan kembali meliputi mansion mereka yang sepi.

Hanya suara langkah kaki terdengar. Si surai hitam kembali ke kamarnya. Ia terduduk di tepi tempat tidurnya.

Akutagawa menatap kosong berkas-berkas kerjasama yang menjadi sebuah awal kerjasamanya dengan Chuuya. Ah... sudah lama mereka tidak membahas kerjasama mereka.

Namun, hari ini bukan hari yang tepat untuk menanyakan hal tersebut pada Chuuya. Dia pasti sudah tertidur.

Lagipula, mengingat kejadian tadi? Ah, sangat tidak mungkin. Ini sangat membuat frustasi.

Mengapa saat itu suara Mori tidak terdengar biasa di telinga si surai hitam?

Mengapa saat itu ia langsung bertindak?

Apakah itu benar-benar salahnya?

***

"Sepertinya semua berjalan lancar, ya?"

Gaze Upon Music II - When Love and Hate CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang