One Step Ahead

49 8 0
                                    

Menurutmu, untuk apa orang-orang berbuat curang?

Ketenaran?

Kemenangan?

Popularitas?

Skandal?

Dunia teknologi mulai merambat di dunia sosial. Hampir semua orang mengerti tentang teknologi. Bahkan... bagi orang yang memanfaatkannya untuk hal buruk.

***

"Ada kontak dari Mori-san?" Tanya Chuuya, masih memfokuskan pandangannya ke jalan.

"Ah, belum ada," Jawab Akutagawa singkat, meraih ponselnya dan menatap layar tersebut.

Syukurlah. Jika saat terkena 'insiden' tadi mereka ditelpon, maka akan ada hal buruk menanti mereka selanjutnya. Tapi di sisi lain, bukankah itu aneh bahwa orang seteliti Mori dan Kouyou bisa tidak menyadari sinyal GPS milik Chuuya berhenti tiba-tiba?

Seketika suasana yang tadinya lega, jadi keheranan.

"Kuharap bukan apa-apa," Batin Chuuya berusaha fokus ke jalan di depannya.

***

Hari sudah hampir menunjukkan pukul 9 malam, dan benar saja, mereka terjebak macet. Mobil tidak satupun bergerak. Termasuk Mori dan rekan mereka yang lain.

Mereka tetap terhubung kontak agar mendapat kabar bahwa siapa saja yang sudah berhasil lolos dari petaka macet tersebut bisa mengurus keadaan gedung tempat mereka bertugas. Baru boleh kembali ke apartemen mereka masing-masing.

Diduga kemacetan karena lampu lalu lintas tidak berfungsi dengan baik.

"Hah... lampu biru benar-benar tidak memberikan kita suatu hal yang bagus," Gerutu si surai senja, merasa jengkel. Manik birunya melirik ke arah si surai hitam yang tengah tertidur. Ia mungkin sangat lelah.

Wajah si surai hitam yang terlihat sangat damai saat tidur, membuat Chuuya tidak bisa menahan senyumnya yang perlahan terukir di wajahnya.

Perlahan tangan berbalut sarung tangan hitam tersebut menyentuh ujung rambut si surai hitam, dan mengelusnya lembut. Benar-benar lembut, mengingat model rambut yang sepertinya terlihat pendek dan acak-acakan, ternyata sangat halus.

"Dasar..." Gumam Chuuya.

Lampu biru pun akhirnya menyala, setidaknya memberi kelegaan sekitar satu kilometer sampai akhirnya macet kembali melanda, untungnya tidak separah yang barusan.

"Kita... sudah sampai?" Tanya Akutagawa yang masih bertatapan sayu. Chuuya hanya tersenyum, "Belum. Mungkin kita masih akan terjebak macet, jadi kau tidur saja lagi,"

"Chuuya-san tidak capek?" Tanya si surai hitam lagi, "Kalau Chuuya-san capek... aku bisa gantikan,"

"Tidak, tidak perlu kok," Chuuya mengacak rambutnya dengan satu tangan, "Aku tidak capek. Ah, kau mau makan?"

"Ah... tidak apa-apa?"

"Haa? Apa maksudmu bertanya begitu? Tentu saja tidak apa-apa," Ujar Chuuya meyakinkan, "Di belakang ada roti dan beberapa kue kecil, nanti kudengar dari Mori-san kita akan berhenti sejenak di rest area. Yah, jalan hari ini sangat panjang,"

"Ha'i," Si surai hitam mengangguk, lalu meraih roti dari belakang, dan membagi dua roti tersebut.

"Nih, Chuuya-san," Akutagawa memberikan sebagian roti untuk si surai senja. "Oh, arigatou,"

***

"Hahhh! Kupikir kita takkan sampai," Chuuya menarik napas lega, sesekali mengangkat tangannya ke udara untuk meregangkan tubuhnya yang terlalu lama duduk di dalam mobil. Benar-benar membuat pegal seluruh tubuh.

"Yah, tidak kusangka macetnya separah ini," Mori menatap lurus dari rest area di mana mereka berada sekarang, ke jalan yang padat dengan mobil yang bahkan tidak bergerak, sama sekali.

"Rest area ini sangat bersih, tentu saja, cocok untuk duduk istirahat dan meminum kopi sejenak,"

Jam menunjukkan pukul 10. Ah, ini bukan pertama kalinya mereka pulang semalam ini. Malahan pernah pulang sekitar pukul 2 dini hari. Itu pun... karena konser malam dan kemacetan yang tidak parah.

Jam 10 malam benar-benar saat yang strategis untuk keluar, karena rest area tidak ramai pengunjung. Mori sudah menentukan posisi rest area mereka agar tidak dikerumuni banyak orang.

"Ryu, kau mau... bento?" Tanya Chuuya, melihat-lihat etalase jendela yang menjual bento dan sup serta berbagai macam makanan lainnya.

"Ah, bento tidak apa-apa," Ujar Akutagawa. Ia sudah memakan roti tadi, sehingga ia bisa mengganjal perutnya yang tidak terlalu lapar.

"Saya ingin membeli ini," Chuuya memesan makanan tersebut di counter. "Ah, ha'i, segera dipersiapka-- are...?" Pelayan tersebut memicingkan matanya, "Lho, Anda... Nakahara-sama, kan?"

Chuuya terkejut, ia sudah memakai contact lense berwarna hijau, serta memakai topi yang agak kebesaran untuk menutup wajahnya. Namun tetap ketahuan. Akutagawa yang tadinya terduduk sendirian di tepi meja, langsung menoleh dan memasang ekspresi terkejut.

"Ah, ya..." 

"Moushiwake gozaimasen, saya agak terlalu semangat," Pelayan tersebut terdiam sejenak, lalu ia permisi dari tempatnya berdiri, setelah mengetahui bahwa Akutagawa juga berada di situ.

"Aneh sekali-" Batin Chuuya. Ia kembali ke tempat di mana Akutagawa duduk. Si surai hitam menurunkan kacamatanya, "Kenapa bisa begitu?"

"Tidak tahu," Tutur si surai senja, "Setidaknya orang tadi tidak berteriak,"

"Yah... untung,"

"Nakahara-sama? Akutagawa-sama?" Panggil seorang pria yang keluar dari ruang khusus pelayan tempat makan tersebut, membuat Chuuya dan Akutagawa terheran-heran, namun tetap mencoba tenang.

"Ha'i?"

"Kalian boleh mendapatkan potongan harga sebanyak 40%," Ujar pria tersebut tiba-tiba, namun karena tidak enak hati, Chuuya akhirnya dengan sopan menolak tawaran tersebut, "Ah, maaf, tidak perlu kok, saya bisa membayar dengan lengkap,"

"Soukka, kalau begitu... saya ada beberapa pertanyaan pribadi untuk kalian berdua, jika diizinkan?"

Chuuya berpikir sejenak, ah, apa salahnya jika hanya satu atau dua pertanyaan? Yah... asalkan tidak menyangkut data diri sih...

"Boleh saja..."

"Ah, kalau begitu... saya ingin bertanya, apakah Anda mendapatkan ponsel yang tidak dikenal pemiliknya?"

Chuuya menaikkan salah satu alisnya, "Iya...? Lalu mengapa? Anda tahu dari mana?"

"Karena... seorang pemain butuh strategi yang baik dan tangkas untuk menjebak lawannya,"

Gaze Upon Music II - When Love and Hate CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang