Repercussions #3

55 7 2
                                    

Jalanan yang awalnya bersih, mulai ditutupi oleh salju putih yang dingin, membuat langkah si surai hitam agak terhambat.

Sepertinya salju di pagi hari benar-benar sebuah anugerah dan kutukan.

"Akutagawa-kun, ayo jalan lebih cepat," Chuuya memanggil si surai hitam dengan semangat dan wajahnya yang masih tersenyum cerah seperti tiada beban yang ia pikul saat ini.

"Ah- tunggu," Akutagawa mempercepat langkahnya untuk mengejar si surai senja yang jauh berada di depannya.

"Kau selalu kebanyakan pikiran," Ucapnya, "Pantas saja kau selalu bermuram durja,"

"Aku hanya merasa terancam," Ujar Akutagawa membalas ucapannya. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mencari kehangatan. Ah... seandainya saat itu-

"Shush! Sudah! Kau ini, selalu saja mengingat-ingat hal itu. Itu bukan salahmu, kau hanya berusaha melindungi diri,"

"Tapi-"

"Sudah kubilang, ini bukan salahmu,"

"Aku membuat-" Ucapan Akutagawa terpotong seketika saat ia merasakan sesuatu yang hangat menempel di bibirnya. Ia membuka mata hanya untuk mengetahui bahwa itu adalah bibir orang yang ia cintai.

"Bagaimana? Sudah tenang?" Chuuya menjulurkan lidahnya, lalu segera menjauh dari Akutagawa yang memerah padam dibuatnya.

Benar saja, ia langsung terdiam sejenak setelah itu.

***

"Ah, Chuuya-kun! Dari mana saja kamu ini?" Kouyou yang menanti kehadiran dua orang tersebut langsung menyambut Chuuya yang muncul terlebih dahulu daripada Akutagawa. 

"Ke mana Akutagawa-kun?"

"Di sini," 

"Akhirnya. Oh, ya, kalian ditunggu oleh Mori-san. Saya sendiri tidak tahu apa yang akan ia bahas," Kouyou tersenyum hangat, "Sudahlah, kalian cepat ke ruangannya saja setelah merapikan mantel,"

"Tunggu, apa Mori-san ada berkata apapun sebelumnya?" Tanya Chuuya memastikan.

"Berkata apa? Tidak ada. Ia bahkan tidak membicarakan apapun denganku," Kouyou menghela napas, "Kuharap ia tidak sembarangan memilih keputusan,"

"Kuharap juga demikian..." Akutagawa memalingkan wajahnya. Ia melihat-lihat keadaan sekitar, semuanya tampak normal. Para klien melakukan pertemuan, ada yang tengah menunggu giliran, dan ada juga wartawan yang sedang meminum kopi.

"Kakak?" 

Sebuah suara membuat Akutagawa menoleh, "Gin? Ada apa?"

"Tidak ada. Hari ini kudengar kakak ada urusan dengan Mori-san, ya?" Gin bertanya, "Kemarin..."

"Yah... begitulah," Si surai hitam menggaruk lehernya yang tidak gatal tersebut, "Mau bagaimana lagi, tetap salahku,"

"Aku yakin kakak tidak melakukan hal itu tanpa alasan," Gin tersenyum tulus, ia membantu menanggalkan mantel kakaknya tersebut, dan meminta salah satu petugas di gedung untuk menyimpankan mantelnya tersebut.

"Kau tidak salah... namun tidak benar juga,"

"Apa maksudnya?" Gin tertawa kecil, "Kakak mematikan teleponnya untuk menjaga privasi Nakahara-san, kan?"

Akutagawa merasakan lidahnya menjadi kelu. Ucapan adiknya memang benar, namun apa yang terjadi kalau ternyata itu adalah sebaliknya?

"Sudahlah, daripada menunggu lebih lama... aku akan menunggu kabar dari kakak," Gin melambaikan tangannya seraya melangkahkan kaki untuk pergi setelah mengetahui bahwa ia dipanggil Tachihara yang sudah berkumpul dengan Hirotsu dan Higuchi.

Akutagawa membalas lambaian tangannya dengan ragu, sebelum akhirnya Chuuya yang meraih tangannya, tanda bahwa mereka harus segera pergi untuk menemui Mori.

***

"Selamat pagi, Mori-san," Chuuya mengetuk pintu ruangan Mori sebelum membukanya. Ia disambut oleh Mori yang terlihat santai. Tidak ada satupun yang mencurigakan. Jendela yang mengarah ke luar juga menjadi jalan masuk bagi cahaya matahari pagi.

"Ah, selamat pagi, Chuuya-kun! Silakan duduk di mana saja," Sapa Mori dengan senyumnya yang khas, "Di mana Akutagawa-kun? Sepertinya kalian selalu bersama,"

"Anda yang meminta kami bekerjasama, Mori-san," Chuuya menjawab dengan sopan.

"Ah! Benar," Mori tertawa renyah, "Sepertinya saya sudah semakin berumur, ya?"

Chuuya hanya mengeluarkan suara tawa tertahan.

"Di sini," Akutagawa tiba-tiba menampakkan diri dari balik pintu, lalu ikut duduk di kursi empuk sebelah si surai senja. 

"Hah... baik, karena kalian sudah ada di sini..." Mori memulai percakapannya, "Pasti kalian ingat soal kemarin,"

"Ya," 

"Keberatan untuk menjelaskan alasannya?" Mori bertanya lebih lanjut, "Sepertinya alasanmu akan menjadi jalan keluar bagimu, atau perangkap. Kau yang memilih,"

"Seperti yang Anda ketahui kemarin... saya dan Akutagawa tengah berada dalam perjalanan pulang sebelum akhirnya Anda mengumumkan pada kami semua untuk berkumpul, beristirahat sejenak," Si surai senja melirik ke arah Akutagawa yang memainkan tangannya dengan ragu dan gelisah sebelum melanjutkan pernyataannya, "Saya dan Akutagawa berhenti, dan masuk ke tempat makan terdekat sebelum akhirnya bertemu dengan orang aneh yang berkata bahwa ia tahu apa yang kami lakukan,"

"Teruskan," Mori menyandarkan tubuhnya ke depan, tanda bahwa ia tertarik dan ingin mendengar lebih lanjut.

"Kami segera menjauh sebelum ia melakukan hal-hal yang aneh, dan segera kembali ke mobil. Itulah saat Anda menelepon," Chuuya melanjutkan kalimatnya. Ia merasa agak tidak nyaman setelah itu, entah dari mana perasaan tersebut datang menghampirinya seperti hantu baru saja menembus jiwanya. "Saya... memang mengangkat panggilan Anda, namun Akutagawa merasa tidak aman, lalu mematikan ponsel saya begitu saja,"

Mengapa mematikan ponsel begitu saja bisa membuat kesulitan semacam ini?

Menyebalkan.

Akutagawa yang sedaritadi hanya bisa terdiam, mulai melihat keadaan sekitarnnya lagi. Ia sama sekali tidak merasa aman, apakah hanya halusinasi? Atau intuisinya memang berkata demikian?

Si surai hitam menatap kosong ke arah Mori, sebelum akhirnya tatapan tersebut dibalas oleh senyum Mori yang masih terlihat biasa saja.

Barulah Akutagawa merasakan ada hal yang tidak beres.

"Ada lagi yang perlu saya dengar?" Mori menambahkan pertanyaannya.

"Saya juga mau menginfokan bahwa ponsel kami memili-"

"AHH!!" Chuuya tiba-tiba tersentak, lalu mengibaskan tangannya yang baru saja ditekan Akutagawa secara paksa, "Kau gila?"

Tatapan Akutagawa memberikan isyarat bagi Chuuya untuk berhenti berbicara. 

"Ada apa?"

"Sepertinya kalian memang memilih terperangkap, ya?"

Gaze Upon Music II - When Love and Hate CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang