Repercussions #2

51 5 0
                                    

"Apa yang dia bilang barusan, ya? Ah, sudahlah,"

Akutagawa membuntuti Chuuya dari belakang. Pikirannya sedang melambung. Ia setengah lega, setengah takut.

"Kau kenapa kaku sekali, sih?" Komentar Chuuya, "Aku tidak tahan, tahu?"

"Ah, maaf,"

"Bukan, bukan itu maksudku, apa aku harus mengerjaimu supaya kau tidak sekaku ini?"

"Chuuya-san terdengar seperti Gogol-san sekarang,"

"Aku bukan badut,"

Keheningan tiba-tiba melanda mereka. Tiba-tiba saja pecah tawa si surai senja, "Hahahaha! Kau tiba-tiba diam, ada apa? Ekspresimu juga jadi lucu begitu!"

"Tapi Chuuya-san terlihat seperti sedang membadut, kok,"

"APA KATAMU?!"

"Tidak ada,"

Akutagawa langsung terdiam. Ia tahu Chuuya tidak benar-benar marah, itu hanya salah satu reaksi alaminya.

"Nee, kau ingin berhenti sebentar untuk membeli teh panas? Suhu pagi ini sangat dingin," Ajak Chuuya menarik-narik lengan Akutagawa seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan.

"Ah- apakah kita akan terlambat jika mampir ke cafe terdekat?"

"Prediksiku, sih, tidak, semoga saja tepat,"

***

"Kau ingin teh apa? Earl Grey? Chamomile? Teh hitam?"

"Chamomile katanya dapat menenangkan perasaan, jadi... kurasa aku ingin chamomile,"

Akutagawa berjalan ke meja di pojok dekat etalase agar ia bisa melihat kumparan daun yang tertiup angin. Sejuknya pagi hari mendukung Akutagawa agar menenangkan perasaannya. Ah, kencan?

Trak

"Pelayannya mengenalku. Ia langsung membuatkan teh untuk kita secepat kilat, lalu buru-buru meminta tanda tanganku," Chuuya menghela napas seraya meletakkan dua cangkir teh di depan Akutagawa. Senyum lebar terukir di wajahnya.

Chuuya meneguk teh panas yang asapnya masih mengepul secara perlahan tanpa menyadari ada sepasang mata yang terus menerus memperhatikannya.

Si surai hitam mengalihkan pandangannya pada Akutagawa yang langsung tersadar dan berhenti menatap. "Kenapa? Tehnya terlalu panas?"

"Tidak..." Akutagawa mulai meneguk tehnya. Semburat merah kecil terlihat di pipi si surai hitam.

"Kau terus-terusan menatapku, ada apa?" Tanya Chuuya terus memancingnya, "Ada yang mau dibicarakan?"

"Tidak ada apa-apa," Jawab Akutagawa, ia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang merona merah secara tiba-tiba.

Chuuya yang menyadari hal tersebut langsung tersenyum geli dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar..."

Suasana yang tenang di pagi hari membuat kedua artis ini tidak ingin beranjak. Siapa ingin beranjak dari cafe yang memiliki penghangat ruangan, sementara di dunia luar angin tengah bertiup?

"Pukul berapa sekarang? Ah, masih pukul setengah tujuh pagi. Kita diminta berkumpul setengah jam lebih awal dari acara, jadi... sekitar pukul setengah delapan kita sudah harus sampai. Kita masih memiliki waktu sekitar satu jam. Ada yang ingin kau lakukan?" Tanya Chuuya menatap pria di sebelahnya yang masih merona merah, entah karena suhu dari luar atau memang jantungnya tengah berdebar-debar.

Akutagawa menoleh sekilas ke luar jendela. Sejujurnya ia tidak ingin melepaskan suasana ini. Kapan lagi mereka bisa bersama, tanpa jadwal? Benar-benar surga. "Aku... akan ikut ke manapun Chuuya-san pergi,"

"Benarkah? Kalau aku ingin pergi ke bar, kau juga akan ikut?"

"Kalau itu membuat Chuuya-san senang, aku tidak keberatan," Akutagawa membalas pertanyaan tersebut. Sejenak si surai senja terdiam, lalu perlahan senyumnya mulai terukir kembali di wajahnya. Manik birunya ikut tersenyum.

"Benar?" Chuuya menarik lengan Akutagawa yang terkejut lalu ikut terbawa. "Ehh- mau ke mana-?"

"Sudahlah ikut saja," Chuuya tersenyum lebar.

"Tapi kita mau ke ma- salju?" Akutagawa menengadahkan kepalanya, "Kenapa ada salju di jam seperti ini-"

"Ramalan cuaca bilang bahwa hari ini akan salju, meski hanya untuk beberapa jam, setidaknya kita jadi punya waktu untuk menikmati keindahannya, kan?"

"Yah..."

"Akutagawa-kun," Chuuya memanggil namanya sekali lagi, membuat pemilik marga tersebut menoleh lalu merasakan pipinya bersentuhan dengan sesuatu yang dingin.

"Hahaha terlambat," Chuuya tertawa, lalu mengambil bola salju dari jalan yang diselimuti salju tersebut.

Akutagawa yang baru saja dilempari salju tersebut masih enggan untuk membalas. Ia hanya menutupi kepalanya dengan tudung mantel yang ia kenakan.

"Heh... tidak mau membalas?" Chuuya mendekati Akutagawa yang berjalan semakin jauh dibuatnya. "Aku tidak bisa main salj-"

PYAK!

"Chuuya-san!" Seru Akutagawa mengibaskan lengan mantelnya yang terkena salju dingin. "Aku tidak-"

"Baik, baik... aku mengerti," Si surai senja terkekeh pelan, "Kupikir kau suka membala-"

PYAK!

"DINGIN-!" Seru Chuuya menebas butiran salju yang terkena pipinya.

Akutagawa menahan senyumnya, "Yah... Chuuya-san yang dulu-"

Pyak!

Segenggam salju kembali dilemparkan ke arah Akutagawa yang terkejut, lalu langsung menepis salju tersebut. 

"Sudah, sudah, kau tidak suka dinginnya salju ya?" Tanya Chuuya memastikan, masih dengan sisa-sisa tawanya, "Kalau begitu kita langsung-"

Kalimat si surai senja langsung terputus ketika ia merasakan benda dingin menyentuh tengkuknya. Ia merabanya hanya untuk melemparkan benda tersebut kembali pada pelakunya.

"RYU-!! JANGAN SEMBARANGAN MELETAKKAN SALJU DI DALAM SYALKU!"

***

"Hmm... Ryuu?" Panggil si surai senja seraya membetulkan letak syalnya. Akutagawa merespon dengan sebuah anggukan kecil, "Ha'i?"

"Menurutmu..." Chuuya membiarkan kalimatnya menggantung sejenak, lalu menarik napas, "Apa yang akan kaulakukan jika Mori-san benar-benar memisahkan kita?"

Akutagawa menatap Chuuya lekat-lekat. Sejujurnya ia tak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya. Ia tidak bisa membalas pertanyaan tersebut untuk beberapa detik, hingga akhirnya Chuuya melanjutkan pertanyaannya.

"Apa yang akan kaulakukan jika hal itu benar-benar terjadi?"

"Mungkin... aku akan berusaha menentang," Si surai hitam memalingkan wajahnya, "Aku tahu itu bertentangan dengan peraturan, namun..."

"Siapapun tidak akan suka jika dipisahkan dari orang yang membuatnya nyaman, kan?"

Gaze Upon Music II - When Love and Hate CollideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang