-49-

66 31 82
                                    

"Engh ..."

Arta mengerang pelan. Kedua matanya yang baru terbuka itu mengedarkan pandangan, lalu memejam rapat karena merasakan sakit yang luar biasa di kepala. Dia menyentuh wajah bagian sekitar mata yang terasa basah. Arta berusaha bangun, namun kakinya terasa mati rasa dan sulit digerakkan seperti 'waktu itu'.

Cowok itu melirik jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul tiga pagi. Kemudian menoleh ke arah luar. Pintu balkon terbuka, menampakkan seorang Rian yang duduk di atas pembatas balkon dengan menyandarkan tubuhnya pada tembok.

"Lo nggak tidur?" tanya Arta. Perlahan kakinya mulai bisa digerakkan dan menggiringnya menuju Rian yang sedang menghisap rokok.

"Kebangun satu jam yang lalu," jawabnya. Arta mendudukkan pantatnya di atas pembatas balkon. Rian menghela nafas, lalu bertanya pelan, "Ica itu siapa?"

Arta menoleh dengan tatapan dingin.

"Tadi lo ngigau sambil nangis. Dan, nyebut-nyebut nama 'Ica'," jelas Rian.

"Dia adik gue."

Rian mengangguk mengerti. Cowok itu menatap temannya iba, namun segera mengalihkan tatapannya. Dia tahu Arta tak suka ditatap seperti itu.

Jasad Ica yang mati mengenaskan terjatuh dan terguling dari tangga bagai mimpi terburuk yang tak pernah luput dari ingatan Arta. Kematian adiknya bisa diasumsikan sebagai kecelakaan dan ... bunuh diri.

Lagi, kepalanya berdenyut nyeri. Arta memejamkan matanya lalu bangkit, melangkahkam kakinya menuju ke dalam lalu mengenakan jaketnya.

"Thanks tumpangannya selama dua hari ini," tukas Arta.

"Mau pulang?"

"Ya."

"Nggak sekalian setelah sekolah aja? Kurang dari empat jam udah masuk sekolah. Gue punya seragam dua kok."

Arta tersenyum tipis. Lalu menolak dengan halus, "makasih. Gue cuma nggak mau bikin Bokap gue khawatir."

Sebenarnya Arta hanya berniat menginap selama semalam. Tetapi, Rian tak keberatan jika dia menginap lebih lama. Lagi pula jika seandainya dirinya tidak ada, Rian pasti sudah melakukan rutinitas buruknya setiap hari Minggu Emas. Molor, tawuran, dan ngedugem di malam hari tanpa ada yang mencegahnya. Kemudian keesokan harinya cowok itu izin tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, padahal teler.

"Awas kalau pas gue pergi, langsung pergi clubbing," tegas Arta.

"Lagian mana ada orang yang mau clubbing menjelang subuh." Rian terkekeh pelan. "Gue nggak perlu anter sampe gerbang kan? Lo kan pengertian, gue mager."

"Nggak usah. Nanti jangan bolos lo."

"Haha iya, ya udah, hati-hati Bro."

"Ya, thanks."

ҩ ҩ ҩ

"Yuk pulang."

"Sebentar, lagi beresin buku." Val tampak sibuk menata buku-bukunya agar muat masuk ke dalam tas. "Oke, udah. Yuk!" ajak Val.

Val dan Kenta berjalan beriringan menuju lobi sekolah. Hari ini Alba berjanji akan menjemput mereka, karena setelah pulang sekolah ketiganya berencana belajar bersama di rumah Kenta untuk persiapan PAS bulan depan.

Setibanya di lobi, hujan deras mendadak turun ke bumi seakan tak membiarkan mereka untuk pulang dengan santai.

"Duh pake hujan segala!" gerutu Val.

"Kata Alba, dia udah nunggu di depan gerbang," kata Kenta sesaat setelah mendapat panggilan telepon singkat dari Alba. "Maaf, aku lupa bawa payung," lanjutnya sambil meratapi tetesan-tetesan hujan yang jatuh dari atap sekolah.

Cause I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang