-44-

72 33 39
                                    

Arta duduk di kursi meja makan. Cowok itu mengambil sepotong hidangan roti bakar yang tersaji di depannya, lalu memasukkan roti bakar tersebut ke dalam mulutnya dengan lahap. Saat sedang mengunyah gigitan ketiganya, seorang laki-laki paruh baya berjalan ke arahnya, lebih tepatnya menuju kursi di depan Arta dan duduk di sana.

Arta menghembuskan nafas dengan gusar. Cowok itu buru-buru menghabiskan roti bakarnya dan menyesap jus leci yang tersaji di meja makan, lalu beringsut bangkit.

"Arta, mau ke mana kamu?" Suara laki-laki paruh baya tersebut menginterupsi tindakan yang akan Arta lakukan. "Ayah baru datang, kenapa kamu pergi?" tanya laki-laki itu lagi.

Arta menghela nafas, lalu berbalik memandang ayahnya tajam. "Kalau Ayah mau ngomongin hal-hal yang membebani saya, lebih baik jangan sekarang. Saya lagi nggak mau diganggu," ujarnya dengan enteng yang segera menyulut amarah dari laki-laki di depannya.

Kedua mata ayahnya terbuka sempurna, menyorot putra semata wayangnya dengan amat tajam, menusuk.

"Buat apa Ayah mengganggu anak tidak tahu diri seperti kamu? Ayah cuma mau membicarakan masa depanmu. Kamu harus masuk jurusan hukum saat kuliah nanti."

"Saya ngga—"

"Mau jadi apa kamu kalau perkataan orang tua selalu dibantah? Kalau masih ngotot mau masuk kedokteran, Ayah serius akan pindah sekolahkan kamu ke luar negeri. Sejak SMP Ayah sudah menyarankan kamu agar masuk jurusan IPS di SMA, tapi kamu malah pilih IPA. Mau nggak mau, kuliah nanti harus masuk jurusan hukum. Kamu harus mempelajari semua tentang hukum agar Ayah bisa mewariskan firma hukum di bawah kekuasaan Ayah ke kamu."

Kedua tangan Arta mengepal kuat. Selalu saja, kehidupannya diatur dan dikekang oleh ayahnya. Padahal dia sudah memaksakan diri agar tinggal di rumah orang tuanya dan berhenti tinggal di apartemen, itu karena ayahnya telah berjanji tidak akan membebani pikirannya lagi. Dia bisa saja mencari hotel atau apartemen lain, tetapi ayahnya akan memblokir seluruh kartu ATM-nya sebelum Arta sempat melakukan itu.

Jika tahu tetap begini, cowok itu lebih memilih tinggal di pinggir jalanan ketimbang di rumah orang tuanya yang megah.

Arta menghela nafas gusar, kemudian berjalan cepat meninggalkan ayahnya yang geram.

"Kalau bukan karena kamu, anak bungsu dan istri Saya tidak akan tewas. Dasar anak tidak tahu diri!" bentak sang Ayah sebelum beberapa saat kemdian terdengar suara pintu yang dibanting keras.

Lelaki berkepala empat yang bernama Fandy itu hanya bisa diam terpaku dengan perasaan kecewa.

"Widya, seandainya kamu tidak pergi meninggalkan kami, anak kesayangan kita mungkin tidak akan membangkang seperti ini."

ҩ ҩ ҩ

Arta memejamkan mata rapat-rapat sejenak, berusaha menahan rasa sakit di kepalanya. Kepalanya selalu berdenyut nyeri setiap bertengkar dengan ayahnya atau mendengar ayahnya berteriak keras. Dikaruniai wajah yang rupawan, otak dengan kecerdasan di atas rata-rata, dan kehidupan yang berlimpah harta tak membuat Arta selalu merasakan kebahagiaan.

"Gue iri sama Arta yang memiliki segalanya."

"Coba aja gue ganteng kayak Arta, gue bisa manfaatin cewek-cewek di sekitar gue."

"Kalau gue menikah sama Arta, kehidupan gue nggak akan sengsara lagi. Gue juga bisa foya-foya dan pamer."

"Arta pasti bahagia banget ya punya kehidupan sempurna. Gue mah apa cuma remahan rengginang."

Hampir setiap hari dia mendengar ucapan dari orang-orang yang iri dan mendambakan kehidupan sempurna sepertinya. Terkadang tipe manusia egois seperti itu hanya melihat kelebihan seseorang tanpa melihat perjuangan yang harus dihadapi, membuat Arta sangat muak dan ingin memotong lidah mereka. Memiliki segalanya bukan berarti bisa bahagia selamanya.

Sejak dia tak sengaja membuat adiknya tewas, ibunya sangat terpukul hingga memutuskan bunuh diri. Setelah itu, kehidupannya benar-benar hancur. Ayahnya menjadi sangat posesif dan selalu menginterupsi kegiatannya. Setiap kali dia berbuat salah, tak jarang Fandy membentaknya atau mengungkit-ungkit kematian adik dan ibundanya.

Bahkan Arta tak diberi hak untuk menentukan masa depan dan kebahagiaannya, seolah-olah kehidupan yang dia jalani adalah milik ayahnya dan hanya ayahnya yang berhak menentukan takdirnya.

Memikirkan semua rasa sakitnya, tanpa sadar beberapa tetes air mata jatuh membasahi pipi dibalik kaca helmnya. Dia tak tahu ke mana tempat yang sedang dirinya tuju, yang pasti untuk sementara waktu, dia tak ingin kembali ke rumah.

Arta tidak membenci Fandy. Arta tahu, sebagai seorang Ayah, Fandy berusaha melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tapi, dia muak dengan sikap Fandy yang berubah drastis seratus delapan puluh derajat semenjak sepeninggal Widya.

Arta melirik sekilas kecepatan motornya yang sudah menunjukkan 60 km/jam dan semakin bertambah. Dia terus menambah kecepatan motornya hingga di atas 100 km/jam. Beberapa pengguna jalan meneriakinya dengan kata kasar. Persetan dengan peraturan lalu lintas! Akibat kecepatannnya, Arta hampir tak sengaja mematahkan spion mobil yang dia lewati. Cowok itu membiarkan emosi menguasai dirinya. Mati di jalan pun tak apa, pikirnya.

Valeria Putri.

Entah bagaimana nama itu tiba-tiba terlintas di benak Arta. Andai gadis pemilik senyuman seindah malaikat itu saat ini berada di sisinya, gadis itu pasti akan mengomelinya dengan raut cemas, sekaligus menenangkannya.

Hal tersebut akan terjadi jika Val masih memiliki perasaan kepada Arta.

Perlahan Arta menurunkan kecepatan motornya. Pikirannya sedang kacau sekali. Suasana hatinya sedang tak menentu. Lalu cowok itu berniat mengendarai motornya menuju Taman Kota, namun niatnya segera dia urungkan sebelum hatinya terasa ngilu ketika melihat pemandangan yang akan dilihatnya di sana.

Val sama cowok yang sok jadi pahlawan kesiangan itu pasti lagi ada di sana, terka Arta.

Akhirnya, Arta memutuskan menuju Hutan Kota Senayan untuk menenangkan diri.

Sesampainya di sana, Arta menghirup nafas dalam-dalam. Kedua kakinya membawanya berjalan-jalan di sekitar hutan kota seraya menikmati udara sore yang damai itu.

Hingga akhirnya, pandangannya tak sengaja tertuju pada seorang gadis yang tak asing baginya, sosok gadis dengan senyuman tulus yang selalu menjadi penenang hatinya. Kedua matanya yang berkaca-kaca siap menitikkan air mata itu tertuju fokus pada sesuatu di layar ponselnya.

Entah kenapa melihat raut wajah kesedihan yang mungkin terbesit perasaan senang itu membuat hati Arta terasa pilu. Dan entah bagaimana Arta berinisiatif mendekati gadis itu, duduk di sampingnya dan menenangkannya.

Namun, seorang pemuda berkulit pucat yang tiba-tiba datang membuat Arta memilih untuk mengikuti kata tukang parkir.

MUNDUR!

***

27 Desember 2020

Cause I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang