-28-

124 84 119
                                    

Arta memasuki rumah mewah nan besar di hadapannya. Seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah itu menyambutnya dengan sapaan dan senyuman hangat, Arta hanya membalasnya dengan seulas senyuman lalu bertanya, "Ayah di mana?"

"Tuan ada di ruang kerjanya. Sebentar, saya panggilkan dulu," kata wanita itu dengan sopan, dia menundukkan kepala lalu hendak menuju ruang kerja, namun Arta menghentikannya.

"Saya saja yang ke sana," ucapnya.

Arta naik ke lantai atas tempat ruang kerja papanya berada. Rumah ini cukup besar dan luas, namun terasa sangat sunyi. Hanya ditempati oleh papanya dan beberapa pembantu serta dua orang penjaga. Padahal dulunya rumah ini selalu memancarkan aura kebahagiaan dari sebuah keluarga kecil, sebelum Mama dan adiknya meninggal.

"Arta!" Suara berat bernada penuh amarah itu terdengar jelas saat Arta menginjakkan kakinya di lantai dua. Matanya menatap seorang lelaki berusia empat puluhan tahun yang berdiri tak jauh dari hadapannya.

"Ada apa Anda memanggil saya?" tanya Arta dengan formal.

"Kamu niat sekolah tidak? Padahal Papa sudah rela membiarkan kamu melanjutkan sekolah di jurusan IPA!" ujar lelaki itu dengan nada tinggi.

Arta mengangkat satu alisnya, membuat lelaki itu semakin geram karena merasa disepelekan oleh putra sulungnya sendiri. "Maksud Anda apa?"

"Percuma Papa menyekolahkan kamu kalau di sekolah kerjaanmu cuma pacaran! Seminggu belakangan ini Papa udah curiga sama kamu sampai Papa. Kamu sering antar-jemput cewek, terus datang ke rumah cuma buat memakai BMW demi ngajak makan cewek itu ke restoran mewah. Papa kasih hadiah mobil tersebut karena prestasimu, tapi Papa tidak menyangka kamu akan menyalahgunakannya untuk hal yang tidak berfaedah! Papa kecewa sama kamu, Arta."

"Anda tahu apa tentang saya?" tanya Arta acuh tak acuh, raut wajahnya yang datar tak berubah sejak tadi dia menginjakkan kaki di rumah ini, kedua matanya menatap lurus pada lelaki di hadapannya. "Apa salahnya saya mencoba menikmati masa muda saya? Setidaknya itu lebih baik daripada Anda yang memaksakan kehendak anak, dan seenaknya melupakan kematian Mama dan Ica dengan mengencani wani—"

Plak!

"JAGA OMONGANMU!"

Arta menyentuh sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit cairan merah, meringis menatap papanya dengan tajam. Papanya berubah seratus delapan puluh derajat sejak kematian istrinya. Sejak saat itu Arta merasa ditelantarkan dan dipaksa menuruti kemauan papanya. Dia dan papanya selalu bertengkar. Tiada hari yang tenang bagi mereka berdua, hingga akhirnya dia memutuskan pindah ke apartemen dan tinggal sendiri. Bahkan belakangan ini papanya sudah berani jalan dengan wanita lain, seakan-akan melupakan kematian istrinya dan tidak peduli lagi kepada Arta.

Laki-laki itu menghela nafas, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. "Nanti malam kamu harus ikut Papa untuk persiapan acara tunangan Papa dengan calon mama tirimu. Jadi tinggal di rumah ini untuk sementara. Besok kamu jangan sekolah dulu untuk beberapa hari. Kartu ATM, tabungan, dan kendaraanmu Papa sita sementara."

Arta melebarkan matanya. Dia membuka mulut, hendak protes. Namun peringatan dari papanya membuatnya bungkam dan terpaku.

"Kalau kamu berani sama Papa, Papa akan mengeluarkan kamu dari sekolah dan menyekolahkan kamu di SMA asrama khusus laki-laki di Eropa."

ҩ ҩ ҩ

Bel istirahat berbunyi. Val bersama Laras dan Dinda keluar kelas menuju kantin. Kedua temannya itu tak bosan-bosannya membicarakan cowok ganteng setiap hari.

"Itu lho, kakel yang namanya Kak Dimas."

Val mengerutkan kening, memperhatikan Laras yang tadi berbicara.

Cause I'm YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang