Setelah pulang sekolah, Val langsung ke alamat tempat tinggal Arta yang diberikan Rian. Dia mendongak, menatap aparteman yang tingginya sekitar dua puluh lantai di depannya. Dia menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan pelan. Kemudian melangkahkan kaki menuju lobi dan memasuki gedung aparteman.
Dia menatap kerumunan orang-orang yang menunggu lift. Terdapat dua lift, dan keduanya sedang digunakan. Karena Arta tinggal di lantai sembilan, awalnya Val berpikir untuk naik lift bersama kerumunan orang-orang di depannya. Namun dia cemas jika salah satu dari mereka ternyata keluarga atau kenalan Arta. Akhirnya Val memutuskan naik tangga.
Aparteman yang memiliki dua puluh lantai ini bisa dikatakan mewah. Bahkan, tangganya nampak mewah karena dibuat melingkar seperti yang sering Val lihat di rumah-rumah mewah di sinetron. Anak tangganya terbuat dari marmer dengan pegangan tangganya yang terbuat dari pipa besi melingkar yang berlapis cat berwarna emas.
Memang melelahkan harus menaiki tangga sampai lantai sembilan. Namun itu lebih baik daripada tidak sengaja berpapasan dengan orang asing yang ternyata merupakan kenalan Arta. Orang-orang yang menghuni aparteman ini tidak menggunakan kunci besi untuk masuk ke kamarnya, melainkan nomor sandi.
Val berdiri di depan kamar nomor 1102, kamar Arta. Tangannya bergerak hendak menekan bel, namun seketika terhenti di udara. Val menghela nafas, tiba-tiba merasa gugup tidak karuan. Gadis itu berpikir sejenak. Dia tidak tahu harus bersikap apa kalau ibu atau ayahnya atau salah satu keluarganya yang membukakan pintu. Lalu, bagaimana caranya memperkenalkan diri di depan mereka?
Saya adalah gadis yang berpura-pura menjadi pacarnya.
Dari atas sampai bawah, itu terdengar aneh. Lagi pula, Val datang kesini hanya untuk memberikan kertas-kertas yang dititipkan Bu Sri lalu pulang. Akhirnya dia menekan bel dan menunggu beberapa waktu.
Pintu terbuka sedikit. Arta mengintip dari celah pintu, kemudian membukanya lebih lebar. Setelah melihat kalau Arta yang membukakan pintu, Val menghembuskan nafas dengan lega. Dia melihat wajah Arta yang tampak pucat, terlihat lesu dan lemas. Caranya berdiri agak aneh, sampai harus berpegangan pada tembok. Saat ini keadaannya persis seperti mayat hidup.
"Apa?"
Val mengerjap, suaranya terdengar serak diselingi suara batuk. "Sebentar." Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya. "Ada titipan dari Bu Sri." Arta mengambil kertas-kertas tersebut dan berterimakasih.
Karena Arta sedang sakit, seharusnya yang membukakan pintu adalah keluarganya. Kalau dia membuka sendiri berarti sedang sendirian di rumah.
Ia menatap Val yang terdiam tak kunjung pergi. "Kenapa masih disitu?" tanyanya dengan parau. "Pulang sana." Kepalanya terasa sakit, seketika pandangannya menjadi kabur. Ketika berbalik, dia menabrak tembok dan jatuh tersungkur.
"KAK ARTA!"
ҩ ҩ ҩ
Val melihat thermometer yang menunjukkan angka 38,0. Kini Arta sedang berbaring di kasur. Gadis itu menarik selimut dan menutupi tubuh Arta sampai pundak.
"Demamnya tinggi banget..." Dia menatap Arta, "udah minumobat?" tanyanya khawatir.
"Belum," jawab Arta pelan.
"Udah makan?"
"Lo pulang aja. Gak usah peduliin gue, ini udah biasa."
Gadis itu tidak menggubris. Sudah biasa? Dia sedikit tidak paham maksud Arta. Dia menatap ruangan di sekelilingnya yang cukup luas. Ruangan di sekitarnya terlihat bersih tanpa kotoran sedikit pun, barang-barangnya juga tertata rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause I'm Yours
Ficção AdolescenteUntuk mendapatkan teman di SMA barunya, Valeria Putri terpaksa mengaku memiliki pacar. Padahal, sebenarnya dia tidak memiliki pacar sama sekali. Namun, ketika temannya meminta foto 'pacarnya', Val langsung mengambil foto lelaki tampan yang tak diken...